Liputan6.com, Jakarta - Biaya tarif yang harus ditanggung perusahaan pada tahun ini diperkirakan mencapai USD 1,2 triliun atau setara Rp 19.868 triliun (asumsi kurs Rp 16.556 per dolar AS), dengan sebagian besar beban akan dialihkan kepada konsumen, menurut laporan S&P.
Dalam laporan resmi yang diterbitkan, lembaga tersebut menilai bahwa perkiraan biaya tambahan bagi perusahaan kemungkinan masih tergolong konservatif. Proyeksi itu dihimpun dari data sekitar 15.000 analis sisi penjualan di 9.000 perusahaan yang menjadi kontributor bagi indeks dan riset S&P.
“Sumber tekanan triliunan dolar ini sangat luas. Tarif dan hambatan perdagangan bertindak sebagai pajak pada rantai pasokan dan mengalihkan dana ke pemerintah; keterlambatan logistik dan biaya pengiriman memperburuk dampaknya,” kata penulis Daniel Sandberg dalam laporan tersebut, dikutip dari CNBC, Minggu (19/10/2025).
Sejak April, Trump telah menetapkan tarif 10% untuk seluruh barang yang diimpor ke Amerika Serikat serta menambahkan tarif “timbal balik” terhadap puluhan negara lainnya.
Setelahnya, Gedung Putih menjalankan sejumlah negosiasi dan kesepakatan baru, diikuti dengan pengenaan bea masuk untuk sejumlah produk seperti lemari dapur, mobil, dan kayu.
Meski pihak pemerintah menegaskan bahwa eksportir akan menanggung beban tarif yang lebih besar, analisis S&P menyebut hal tersebut hanya berlaku sebagian.
Konsumen Juga Akan Terdampak
Berdasarkan perhitungan konservatif, S&P menyebut hanya sepertiga biaya tarif yang akan ditanggung perusahaan, sementara dua pertiganya dipikul konsumen. Total kerugian itu mencakup USD 907 miliar bagi perusahaan yang terdaftar, dan sisanya dialami oleh entitas yang tidak tercakup, termasuk ekuitas swasta serta modal ventura.
“Dengan menurunnya output riil, konsumen membayar lebih untuk barang yang lebih sedikit, menunjukkan bahwa porsi dua pertiga ini mewakili batas bawah dari beban mereka yang sebenarnya,” kata Sandberg, yang menulis laporan tersebut bersama Drew Bowers, analis kuantitatif senior di S&P Global.
Taruhan Politik dan Kebijakan
Besarnya dampak ekonomi dari kebijakan tarif menjadi perhatian penting, baik bagi Gedung Putih yang ingin menonjolkan peran bea masuk dalam memperbaiki neraca perdagangan, maupun bagi Federal Reserve yang tengah menakar kebijakan moneternya.
"Posisi Presiden dan Pemerintah selalu jelas: meskipun rakyat Amerika mungkin menghadapi masa transisi dari tarif yang menjungkirbalikkan status quo yang telah menempatkan Amerika di posisi terakhir, biaya tarif pada akhirnya akan ditanggung oleh eksportir asing," kata juru bicara Gedung Putih, Kush Desai, dalam sebuah pernyataan.
Kalangan pejabat Fed menilai bea masuk tersebut hanya memberi dampak sesaat pada harga, bukan tekanan inflasi jangka panjang. Pandangan serupa juga ditemukan S&P dalam jajak pendapat analisnya.
Konsensus memperkirakan margin keuntungan akan terkontraksi 64 basis poin tahun ini, kemudian menyempit menjadi 28 basis poin pada 2026, dan turun lagi ke kisaran 8–10 basis poin pada 2027–2028. Satu basis poin setara dengan 0,01%.
"Efektifnya, tahun 2025 terdampak; tahun 2026 dan 2027 akan menguji apakah optimisme pasar tentang re-equilibrium beralasan," tulis para penulis.
De Minimis
Dampak selanjutnya juga akan sangat bergantung pada arah kebijakan tarif Trump. Saat ini, ketegangan kembali meningkat antara Washington dan Beijing, khususnya terkait sengketa logam tanah jarang dan langkah Trump untuk mengambil tindakan balasan.
Laporan S&P menyoroti pencabutan pengecualian “de minimis” oleh Trump pada Mei lalu untuk barang bernilai di bawah USD 800 sebagai “titik balik yang nyata” terhadap penerapan tarif yang lebih luas. Pengecualian tersebut sebelumnya memungkinkan barang bernilai kecil melewati hambatan tarif, namun kini dianggap “tidak dapat dipertahankan secara politis.”
"Ketika pengecualian ditutup, guncangan tersebut berdampak pada data pengiriman, laporan pendapatan, dan komentar eksekutif," pungkas Sandberg.