Jadi Penyumbang Cukai Terbesar, Pemerintah Mampu Turunkan Perokok?

5 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah terus berupaya membatasi pasar rokok di Indonesia, meskipun produk tembakau tersebut jadi salah satu penyumbang cukai terbesar. Selain itu, industri rokok di Tanah Air juga memainkan dampak ekonomi yang signifikan, dengan jumlah konsumen dan peredaran uang besar.

Di tengah upaya global mereduksi angka perokok, apakah langkah tersebut bisa dilakukan di Indonesia?

Menjawab hal itu, Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR) bekerjasama dengan universitas-universitas terkemuka di Asia, menyelenggarakan Asia-Pacific Conference on Smoking and Harm Reduction di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Inti dari konferensi ini adalah pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction) yang dibahas melalui penelitian ilmiah, penerapan klinis, dan usulan untuk strategi kesehatan masyarakat yang lebih efektif.

Cara Komunikasi

Direktur CoEHAR Riccardo Polosa mengutarakan, umpan balik yang diterimanya sangat positif. Di negara yang tingkat perokoknya menjadi tantangan kesehatan yang besar, membangun komunikasi yang terbuka dan transparan berdasarkan penelitian ilmiah menawarkan peluang nyata untuk memengaruhi pilihan gaya hidup di antara penduduk Indonesia.

"Dukungan dari para pemangku kepentingan dan peneliti lokal merupakan tonggak penting dari pekerjaan kami, hasil dari upaya kerja sama dan jaringan yang kuat yang memungkinkan kami membangun jembatan ilmiah dan budaya yang unik," jelasnya, Senin (16/6/2025).

Kolaborasi penelitian yang dijalankan CoEHAR memvalidasi bukti ilmiah terkini mengenai toksikologi rokok, serta produk pengurangan bahaya di tujuh laboratorium, yang juga menetapkan standar-standar penelitian internasional baru.

Evaluasi Perubahan Kesehatan Mulut Perokok

Dalam studinya, CoEHAR juga turut mengevaluasi perubahan-perubahan dalam parameter kesehatan mulut pada perokok, yang beralih ke produk pengurangan risiko.

Pakar Kesehatan Unpad Ronny Lesmana mengatakan, topik-topik tersebut menyita perhatian besar dari pihak audiens. Isu-isu seperti kesehatan kulit dan mata, serta dampak merokok pada performa atletik dan kehidupan militer pun turut menarik perhatian.

"Indonesia memerlukan strategi inovatif untuk mengatasi dampak merokok terhadap kesehatan masyarakat, dan kolaborasi internasional seperti ini adalah kuncinya," kata Ronny.

Industri Rokok Kecil Tetap Wajib Bayar Cukai, Tapi Lebih Murah

Industri Kecil Menengah (IKM) rokok dinilai tetap wajib membayar cukai, namun lebih pada cukai rakyat. Dengan demikian, IKM tersebut membayar cukai pada negara dengan biaya yang murah. 

Anggota Komisi XI DPR RI, Eric Hermawan mengatakan, jalan tengah untuk meminimalisir konflik antar kepentingan yang diduga melibatkan institusi pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) adalah dengan membayar cukai. Pasalnya, tanpa membayar cukai yang dirugikan negara.

"Dugaan adanya pelanggaran itu, maka tidak hanya polisi, dikhawatirkan ada unsur APH lain akan terlibat, dan disinyalir oknum bea cukai juga turut terlibat. Karena itu, yang paling benar ada namanya cukai rakyat, supaya negara mendapat untung gitu, tinggal pembinaannya saja, berapa harga cukai yang bisa diserap oleh para pelaku usaha rokok di Madura," terang Eric dikutip Selasa (13/05/2025).

Eric yang terpilih dari dapil Jawa Timur XI (Madura) juga menyoroti kebijakan eksesif atas tarif cukai rokok dalam beberapa tahun belakangan ini yang memberikan dampak berganda (multiplier effect) baik di sektor hulu dan hilir mata rantai tembakau. Ia menduga, pemerintah selama ini hanya memikirkan target penerimaan tanpa mempertimbangkan dampak kenaikan cukai rokok.

"Pemerintah ambil uangnya dari cukai rokok, tanpa memedulikan nasib industri rokok. Nah, ini harus dibenahi, makanya cukai itu harus dibuat stabil sehingga pertumbuhan rokok pun akan tumbuh. Bahwa kebijakan cukai hasil tembakau ini perlu dikaji ulang," jelas bendum Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |