Liputan6.com, Jakarta - Publik tengah dihebohkan dengan kabar besarnya tunjangan rumah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024–2029. Pasalnya, mereka tidak lagi mendapat fasilitas rumah jabatan anggota (RJA), melainkan diganti dengan tunjangan uang tunai.
Nilainya pun tidak main-main, mencapai Rp 50 juta per bulan. Selain itu, anggota dewan juga masih menerima berbagai tunjangan lain, seperti tunjangan beras sebesar Rp 200 ribu per bulan.
Semua tunjangan ini berada di luar gaji pokok. Saat ini, gaji Ketua DPR tercatat Rp 5.040.000, Wakil Ketua DPR Rp 4.620.000, dan anggota DPR Rp 4.200.000. Aturan gaji pokok mengacu pada PP No. 75 Tahun 2000, sementara tunjangan diatur lewat Surat Edaran Setjen DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010.
Ketua DPR Puan Maharani menegaskan, besaran tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan sudah melalui kajian yang matang.
"Itu sudah dikaji dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kondisi ataupun harga yang ada di Jakarta karena kan kantornya ada di Jakarta," ujar Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (21/8/2025).
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menambahkan, besaran tunjangan tersebut ditentukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), bukan DPR.
"Satuan harga Menteri Keuangan itu yang menetapkan Menteri Keuangan. Kita ini cuma menerima," katanya di Senayan, Jumat (22/8/2025).
Pendapatan Total DPR
Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyebut, total pendapatan bersih (take home pay) anggota DPR saat ini berkisar Rp 69 juta–Rp 70 juta per bulan.
"Saat ini mungkin terima hampir Rp 69 sampai 70 juta," ujarnya di Senayan, Selasa (19/8/2025).
Menurut Adies, tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan dianggap wajar karena beban kerja DPR sangat berat. Ia juga menegaskan, gaji pokok anggota DPR tidak pernah naik selama 20 tahun, hanya sekitar Rp 6–7 juta per bulan.
"Gaji tidak ada naik, gaji kami tetap terima kurang lebih 6 juta setengah, hampir 7 juta. Tunjangan-tunjangan beras kami cuma dapat 12 juta dan ada kenaikan sedikit," sambungnya.
Melukai Hati Publik
Direktur Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan menilai besarnya tunjangan dan gaji anggota DPR sangat melukai hati rakyat yang mereka wakili. Ia menegaskan, tidak ada anggota DPR yang hidup dalam kekurangan sehingga tambahan tunjangan besar dinilai berlebihan.
"Malahan justru harus dikurangi. Mestinya Menteri Keuangan mengikuti semangat efisiensi dan penghematan anggaran yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto," ujarnya.
Iwan bahkan memperingatkan, kebijakan seperti ini bisa memicu keresahan publik.
"Bisa saja akan menciptakan demo besar-besaran," katanya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pun menilai tunjangan jumbo DPR sebagai bentuk nyata ketidakadilan sosial.
“Saya baca suatu rilis dari BBC Online yang dari Inggris, di situ dikatakan pendapatan DPR Rp 104 jutaan per bulan, memang paling besar tunjangan perumahan Rp 50 juta saya lihat,” ujarnya, Kamis (21/8/2025).
Menurut Said, jika dihitung, gaji pokok dan tunjangan DPR berada di kisaran Rp 54 juta. Ditambah fasilitas lainnya, total bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta per bulan atau sekitar Rp 3 juta lebih per hari.
Kontras dengan Buruh
Kondisi ini, kata Said, sangat kontras dengan nasib buruh yang upah minimumnya di Jakarta hanya sekitar Rp 5 juta per bulan, atau Rp 150 ribu per hari.
“Kita bandingkan karyawan outsourcing kontrak yang di Jakarta upahnya Rp 5 juta bagi 30 hari hanya sekitar Rp 150 ribuan, anggota DPR Rp 3 juta lebih per hari, buruh yang pontang-panting Rp 150 ribu per hari,” ujarnya.
Said menegaskan, saat buruh masih berjuang keras menuntut kenaikan upah minimum, wakil rakyat justru menikmati fasilitas dan tunjangan besar. Hal ini dianggap mencerminkan sistem yang tidak adil di tengah kesulitan ekonomi masyarakat.
Tuntutan Kenaikan Upah Minimum 2026
Lebih lanjut, Said menyoroti pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2025 yang menyebut angka pengangguran dan kemiskinan menurun, serta pertumbuhan ekonomi naik menjadi 5,12 persen di kuartal II.
Menurut Said, kondisi tersebut seharusnya diikuti dengan peningkatan kesejahteraan buruh melalui kenaikan upah minimum.
"Kalau kami memakai logika yang disampaikan Pemerintah sendiri dalam pidato kenegaraan karena ekonomi baik maka kenaikan upah harus baik, ketemulah 8,5 persen minimal," ujarnya.
KSPI pun menegaskan, tuntutan kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5–10,5 persen adalah hal yang wajar dan sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini.