Liputan6.com, Jakarta Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman menegaskan, pihaknya tidak terlalu mengkhawatirkan adanya penerapan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
“Yang kita khawatirkan itu bukan barang Amerika masuk ke Indonesia atau produk kita tidak bisa ekspor ke Amerika,” ungkapnya, Jumat (18/4/2025).
Saat ini, total nilai ekspor dari anggota Gabel ke pasar AS sebesar USD300 juta. Menurut Daniel, yang justru menjadi ancaman bagi industri dalam negeri, termasuk produsen elektronik, adalah luapan atau limpahan produk yang masuk ke Indonesia dari para produsen besar seperti China yang terkena dampak signfikan dari kebijakan Trump tersebut.
“Indonesia menjadi sasaran empuk karena memiliki pasar yang sangat besar. Jadi, yang kita khawatirkan jika masuknya barang-barang impor itu dengan harga yang murah dan memiliki kualitas rendah. Tidak hanya pelaku industri dalam negeri yang dirugikan, tetapi juga konsumen kita sendiri,” tuturnya.
Oleh karena itu, Gabel konsisten menyuarakan kepada pemerintah untuk tetap memiliki tekad yang kuat dalam melindungi pasar domestik dari serbuan impor barang jadi sehingga dapat menjaga daya saing industri dalam negeri.
“Sebenarnya mudah, apabila kita ingin menekan produk itu masuk, kita perlu terapkan non-tariff measure (NTM). Instrumen ini umum digunakan oleh negara lain untuk mengamankan pasar dalam negerinya,” ujar Daniel.
Menurutnya, Amerika Serikat berani menerapkan bea masuk impor karena mereka memiliki NTM yang begitu banyak hingga 4600 NTM. “Makanya mereka menginisiasi perdagangan bebas,” ujarnya.
Hal serupa juga diterapkan di sejumlah negara Eropa, bahkan China, yang memiliki lebih dari 1.500 NTM. Sedagkan, Indonesia hanya memiliki sekitar 207 NTM. “Apabila dibandingkan dengan negara di Asean, seperti Thailand dan Filipina, NTM Indonesia tidak ada setengahnya dari mereka,” imbuhnya.
Pertimbangan Teknis
Mengenai kondisi tersebut, Gabel selalu menekankan pentingnya pertimbangan teknis (pertek) untuk mengendalikan impor masuk di pasar domestik. “Kami ini produsen, tidak ada masalah dengan adanya penerapan pertek. Karena selama ini yang dikenakan pertek itu kan untuk impor barang jadi, bukan untuk pertek bahan baku,” jelasnya.
Maka itu, dengan adanya Permendag 8/2024 yang menghilangkan pertek, Gabel menilai itu artinya tidak mendukung keberlangsungan industri dalam negeri, bahkan bisa mematikan daya saing. “Jadi, sebaiknya dikembalikan lagi kepada aturan ke Permendag 68/2020 dan Permendag 36/2023, yang terbukti dapat menarik investasi masuk ke Indonesia,” ujar Daniel.
Daniel mengemukakan, saat Permendag 68/2020 diberlakukan untuk komoditas alas kaki, sepeda, dan AC. “Peraturan yang memberlakukan pertek ini efektif pada Agustus tahun 2020, pada saat itu utilisasi naik 50 persen hanya dalam kurun waktu empat bulan. Namun, setelah itu ada relaksasi peraturan ini, akhirnya utilisasi jadi menurun,” ungkapya.
Gabel pun berharap, pemerintah dapat segera merevisi Permendag 8/2024. “Kalau menyusunnya saja hanya satu minggu, masa untuk merevisinya saja butuh waktu berbulan bulan. Ini yang kami lihat, pemerintah mau serius atau tidak dalam melindungi industri dalam negeri,” ucapnya.
Sumber Daya
Lanjut Daniel, Indonesia harus menjadi basis produksi atau tuan rumah di negerinya sendiri, karena didukung dengan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah dan banyaknya tenaga kerja yang berusia produktif. “Oleh karenanya, aktivitas industri menjadi sangat penting, karena menyerap tenaga kerja yang begitu banyak,” tegasnya.
Daniel menambahkan, untuk melindungi dan mengamankan pasar dalam negeri, pemerintah harus benar-benar serius untuk menekan banjir impor produk jadi. Salah satu caranya adalah kontrol border di pelabuhan, bukan saat di post border. “Selain itu, pemberlakuan pelabuhan tertentu bagi impor produk jadi atau entry point. Ini juga diberlakukan oleh negara-negara lain seperti India dan Thailand,” ujarnya.
Selain pertek, menurut Daniel, kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) juga bisa menjadi NTM bagi Indonesia. “Kalau bisa TKDN ini diperluas, bukan untuk dilonggarkan,” tegasnya. Sebab, dengan adanya wacana pelonggaran TKDN, sudah ada sinyal para investor di Indonesia sudah mulai ancang-ancang untuk pindah atau kabur ke negara lain.
“Indikasi itu memang sudah ada. Beberapa perusahaan siap tutup assembly-nya. Maka itu, pemerintah perlu menyadari bahwa pertek dan TKDN itu ibarat dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan. Apabila (pertek dan TKDN) ini dapat dikelola dengan baik, akan menjadi kekuatan kita untuk membuat industri kita tumbuh serta mandiri dan berdaya saing,” pungkasnya (*)