Liputan6.com, Jakarta - Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari bebagai dampak ketidakpastian di pasar global maupun domestik, baik itu karena perang tarif yang digulirkan oleh Amerika Serikat (AS) maupun adanya serbuan dari produk impor.
Ini tercemin dari merosotnya Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia atau PMI Manufaktur Indonesia pada April 2025 yang berada di level 46,7 atau berada di fase kontraksi (di bawah poin 50), sesuai hasil laporan S&P Global.
"Kalau kita lihat, penurunannya sangat signifikan hingga 5,7 poin dibanding capaian PMI manufaktur kita pada bulan Maret lalu yang masih berada di tingkat ekspansif sebesar 52,4. Ini sekaligus menandakan bahwa optimisme atau kepercayaan diri dari para pelaku industri manufaktur di dalam negeri semakin menurun di tengah situasi uncertainty saat ini," ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Jubir Kemenperin menjelaskan, survei PMI manufaktur merupakan survei persepsi terhadap pelaku industri yang menunjukkan tingkat keyakinan (optimis atau pesimis) pelaku industri manufaktur menjalankan usahanya saat ini. “Artinya dari hasil survei tersebut, ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha mengadapi perang tarif global dan banjir produk impor pada pasar domestik,” terangnya.
Perlambatan PMI Manufaktur Indonesia pada April 2025 sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) April 2025 yang tercatat berdada di level 51,90. Meskipun masih di dalam fase ekspansi, tetapi lajunya mengalami perlambatan dibandingkan Maret 2025 yang sebesar 52,98 atau menurun sebesar 1,08 poin. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai IKI April 2025 juga mengalami koreksi sebesar 0,40 poin.
Pelaku Industri Manufaktur Menunggu Kepastian Negosiasi
Febri mengemukakan, sejumlah pelaku industri manufaktur di Indonesia masih menunggu kepastian dari hasil negosiasi perwakilan Pemerintah Indonesia yang telah menemui pihak pemerintah Amerika Serikat. Sebab, dengan adanya kepastian hukum melalui kebijakan dari pemerintah, pelaku industri akan dapat percaya diri untuk menjalankan usahanya sehingga tidak dalam kondisi wait and see seperti saat ini.
"Pelaku industri kita bukan hanya saja khawatir karena adanya pemberlakuan tarif resiprokal oleh Presiden Trump, tetapi mereka lebih khawatir terhadap serangan produk-produk dari sejumlah negara yang terdampak tarif Trump tersebut, karena bisa menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif sehingga kita akan mendapat limpahan atau muntahan barang-barang impor itu,” ujar dia.
Febri juga mengemukakan, sudah banyak pelaku industri atau asosiasi yang bersuara di media atau juga telah melaporkan berbagai keluhannya ke Kementerian Perindustrian atas kondisi ketidakpastian saat ini.
"Mereka menunggu kebijakan-kebijakan strategis dari pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri untuk bisa berdaya saing di pasar domestik atau menjadi tuan rumah di negara sendiri,” ungkapnya.
Sebab, dari sisi struktur produksi, sekitar 20% produk industri nasional dialokasikan untuk pasar ekspor, sementara 80% lainnya diserap oleh pasar domestik yang mencakup belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga. Ini menunjukkan pentingnya pasar domestik harus dilindungi untuk kepentingan industri dalam negeri, yang sekaligus sebagai wujud nyata bentuk sikap nasionalisme.
"Kami memiliki komitmen kuat dan kosisten untuk ikut menciptakan suasana optimisme bagi pelaku usaha di Indonesia, namun perlunya dukungan penuh dari stakeholders terkait terutama dari K/L lain penentu kebijakan yang menentukan nasib industri, untuk dapat segera menerbitkan kebijakan- kebijakan yang pro-investasi dan juga pro terhadap perlindungan industri dalam negeri. Jangan sampai permintaan pasar domestik yang sudah turun saat ini malah diisi oleh barang-barang impor,” ujarnya.
PMI Manufaktur Indonesia Turun Paling Dalam
Febri menambahkan, penurunan PMI manufaktur Indonesia paling dalam dibandingkan negara-negara peers. Di ASEAN misalnya, PMI manufaktur Filipina masih berada di fase ekspansif, karena kebijakan tarif Trump tidak terlalu memberatkan bagi mereka dibandingkan negara-negara lain. Selain itu, kebijakan perlindungan pasar dalam negeri di Filipina cukup afirmatif.
Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur yang mengalami kontraksi pada April 2025, antara lain Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8), Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44,0). Meskipun PMI manufaktur China berada di fase ekspansi (50,4), tetapi mengalami perlambatan dibanding bulan sebelumnya.
Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti mengatakan, sektor industri manufaktur di Indonesia mencatatkan kondisi kesehatan yang kurang baik memasuki triwulan kedua 2025.
"Ini kontraksi pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output. Selain itu, penurunan tajam sejak Agustus 2021,” ungkapnya.
Menanggapi keadaan tersebut, S&P Global melaporkan, sejumlah perusahaan mengurangi pembelian dan tenaga kerja serta mengurangi jumlah stok input dan barang jadi.
"Perkiraan jangka pendek masih suram karena perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan akibat tidak ada penjualan, tampaknya kondisi ini akan berlanjut beberapa bulan mendatang,” ujar dia.