Liputan6.com, Jakarta - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menyoroti terkait tunjangan rumah bagi anggota DPR sebesar Rp 50 juta per bulan.
Pihak DPR menyatakan skema ini lebih efisien dibanding mempertahankan Rumah Jabatan Anggota (RJA) Kalibata yang dinilai menua dan tidak layak huni. Biaya perawatan disebut bisa mencapai ratusan miliar per tahun, sehingga lebih baik dialihkan ke tunjangan sewa.
Pernyataan itu diperkuat oleh keterangan Sekretariat Jenderal DPR bahwa mulai 2025 anggaran pemeliharaan RJA dihentikan, lalu kompensasi perumahan diberikan kepada anggota periode 2024–2029.
"Di sisi lain, banyak analis menghitung beban total tunjangan ini mencapai sekitar Rp 1,74 triliun untuk lima tahun, sehingga disebut boros dan tak sensitif terhadap situasi masyarakat," kata Achmad dikutip dari keterangannya, Jumat (22/8/2025).
Dia menuturkan, dengan jumlah 580 anggota DPR, tunjangan Rp50 juta per bulan berarti Rp 348 miliar per tahun. Dalam lima tahun, totalnya mencapai sekitar Rp 1,74 triliun. Angka ini setara dengan biaya pembangunan ribuan ruang kelas baru, subsidi pangan, hingga beasiswa untuk pelajar dari keluarga miskin.
Kata Ekonom soal Tunjangan DPR
Jika benar lebih hemat, semestinya perbandingan jelas ditunjukkan. Apakah revitalisasi menyeluruh RJA lebih mahal daripada Rp1,74 triliun, apakah biaya pemeliharaan tahunan betul-betul lebih besar dari Rp348 miliar. Tanpa hitungan transparan, publik sulit percaya klaim penghematan.
"Jika tidak, pernyataan efisiensi berubah menjadi sekadar pemindahan pos biaya dari belanja pemeliharaan aset negara ke belanja tunjangan individu tanpa bukti penghematan," ujarnya.
Publik Butuh Hitung-hitungan Jujur
Bagi masyarakat, masalah utama bukan sekadar angka Rp50 juta. Publik ingin tahu apakah keputusan ini benar-benar efisien atau justru boros dalam jangka panjang. Transparansi data menjadi kunci agar kebijakan tidak sekadar dilihat sebagai fasilitas mewah bagi wakil rakyat.
Dia menuturkan, DPR perlu membuka engineering estimate biaya RJA yakni berapa biaya renovasi, berapa umur manfaat, serta berapa beban operasional tahunan bila tetap dipertahankan. Data ini kemudian harus dibandingkan dengan total tunjangan lima tahun untuk memastikan klaim hemat berdasar perhitungan objektif.
"Pada uji pertama, tanpa perbandingan biaya menyeluruh antara “revitalisasi RJA” versus “tunjangan lima tahun”, klaim hemat belum terbukti," jelasnya.
Tunjangan PPh 21 DPR
Di sisi lain, Achmad juga menyoroti terkait tunjangan PPh21 DPR. Ia mengatakan jika skema pajak ditanggung pemerintah dihapus, potensi penghematan APBN cukup signifikan.
Untuk komponen “tunjangan PPh 21” sebesar Rp2,699 juta per anggota DPR per bulan, negara bisa menghemat sekitar Rp18,79 miliar per tahun. Jumlah ini memang relatif kecil secara makro, tetapi besar secara simbolik karena menyangkut keadilan.
"Jika hanya komponen “Tunjangan PPh 21” DPR sebesar Rp2,699 juta per bulan yang dihentikan, APBN menghemat sekitar Rp18,79 miliar per tahun (Rp2,699 juta × 12 × 580). Angka ini mungkin kecil secara makro, tetapi besar secara simbolik pesan bahwa keadilan fiskal dimulai dari pucuknya," jelasnya.
Perhitungan PPh
Perhitungan lebih besar terlihat saat seluruh PPh 21 dipotong dari gaji dan tunjangan anggota DPR. Dengan penghasilan rata-rata Rp51,4 juta per bulan, pajak yang seharusnya dibayarkan masing-masing anggota mencapai sekitar Rp112,8 juta per tahun.
Jika dikalikan 580 anggota DPR, total penghematan bisa mencapai Rp65,4 miliar per tahun. Jumlah itu melonjak drastis jika wacana tunjangan rumah Rp50 juta per bulan dimasukkan dalam penghasilan kena pajak. Dalam skema tersebut, pajak per anggota bisa naik ke Rp292,8 juta per tahun, sehingga totalnya mendekati Rp170 miliar per tahun. Angka yang jelas sangat berarti bagi ruang fiskal negara.