Gaji Habis Sebelum Akhir Bulan: Tantangan Menabung di Kota Termahal Dunia

9 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Tantangan finansial di Singapura semakin kompleks. Bukan hanya soal biaya hidup yang tinggi, tetapi juga perubahan sosial dan budaya yang mendorong masyarakat sulit menabung dan lebih gemar berbelanja, bahkan melampaui kemampuan mereka.

Dikutip dari CNBC, Minggu (17/8/2025), ekonom Maybank Research, Brian Lee, menilai faktor makroekonomi ikut memperberat kondisi rumah tangga di Singapura. Walau inflasi turun ke level terendah dalam empat tahun, biaya hidup tetap salah satu yang tertinggi di dunia. Hal ini dipicu masalah struktural seperti harga perumahan yang mahal dan tingginya biaya impor.

Data Numbeo pertengahan 2025 menempatkan Singapura di posisi kelima dunia dengan skor biaya hidup 85,3—tertinggi di Asia—dan naik 11 persen dibanding tahun sebelumnya.

Survei YouGov pada April juga menunjukkan 72 persen dari 1.845 responden menilai biaya hidup sebagai kekhawatiran utama, diikuti isu kesehatan dan penuaan populasi.

Menurut Lee, sejak pandemi, kenaikan biaya hidup lebih cepat dibanding pertumbuhan pendapatan. Akibatnya, daya beli rata-rata pekerja terus menyusut. Data Maybank mencatat pendapatan riil median pekerja turun rata-rata 0,4 persen per tahun pada 2019–2024, berbalik dari pertumbuhan 2,2 persen per tahun pada 2014–2019.

Meski ada pemulihan upah riil pada 2024, Kementerian Tenaga Kerja memperkirakan pertumbuhan kembali melambat pada 2025, terutama karena tarif yang menekan sektor perdagangan grosir dan manufaktur.

Kenaikan Harga Rumah Menambah Tekanan

Beban biaya hidup semakin berat dengan melambungnya harga hunian. Data Dewan Pembangunan Perumahan Singapura (HDB) mencatat harga jual kembali apartemen publik—tempat tinggal sekitar 80 persen warga negara—naik 9,6 persen pada 2024, jauh lebih tinggi dibanding kenaikan 4,9 persen pada 2023.

“Singapura memiliki keterbatasan lahan, ruang, dan sumber daya alam. Hal ini berarti harga properti tinggi, harga mobil tinggi, dan ketergantungan pada makanan impor,” ujar Brian Lee.

Ketergantungan tersebut membuat inflasi domestik sangat terpengaruh kondisi global, dari pandemi, lonjakan permintaan barang, hingga gangguan rantai pasok.

Budaya Konsumtif dan Gengsi Gaya Hidup

Namun, tekanan keuangan masyarakat Singapura tidak hanya datang dari faktor struktural. Joshua Lim, manajer kekayaan di PhillipCapital, menyebut konsumsi warga kini lebih bernuansa aspiratif.

“Kemewahan menjadi hal besar di sini. Mercedes adalah salah satu merek mobil terlaris. Orang-orang berusaha membangun citra dan gaya hidup tertentu,” ujarnya.

Padahal, harga mobil di Singapura terkenal selangit karena adanya sistem Certificate of Entitlement (COE). Izin memiliki kendaraan ini bisa menelan biaya lebih dari 100.000 dolar Singapura, bahkan terkadang lebih mahal daripada harga mobil itu sendiri.

Meski begitu, banyak warga tetap rela membayar demi menjaga gengsi.

“Bagi mereka yang benar-benar pemboros, atau yang memang tidak suka menabung, alasannya juga karena mereka membelanjakan uang yang bahkan belum mereka terima,” tambah Lim.

Jebakan Pay Later

Fenomena ini diperkuat oleh maraknya skema buy now, pay later (BNPL), yang memungkinkan masyarakat berbelanja tanpa harus memiliki dana tunai terlebih dahulu. Bank sentral Singapura mencatat, transaksi BNPL mencapai sekitar 440 juta dolar Singapura pada 2021, hampir empat kali lipat dari tahun sebelumnya.

Firma riset IDC bahkan memperkirakan porsi BNPL dalam transaksi e-commerce akan meningkat dari 4 persen pada 2023 menjadi 6 persen pada 2028.

Lim menilai tren ini mencerminkan terbentuknya “masyarakat berutang”, di mana kepuasan instan dan keinginan tampil dengan gaya hidup tertentu lebih diutamakan dibanding prinsip kehati-hatian finansial generasi sebelumnya.

Kelas Menengah Paling Terdampak

Menariknya, kelompok yang paling terjepit bukanlah masyarakat berpenghasilan rendah, melainkan kelas menengah. Dari seluruh klien Lim, sekitar 60–70 persen berasal dari kelompok berpenghasilan menengah yang hidup dari gaji ke gaji dan mencari cara agar bisa menabung lebih banyak.

Sementara itu, kelompok berpenghasilan tinggi menyumbang sekitar 20 persen klien, dan kelompok berpenghasilan rendah hanya 10 persen.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |