Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR) menyoroti Sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Hal itu tertuang dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis akhir Maret 2025.
Tak hanya itu, AS juga menyoroti terkait Pasar Mangga Dua yang merupakan salah satu pusat belanja bajakan ternama di Indonesia yang dinilai mencederai hak-hak kekayaan intelektual produk Amerika Serikat.
Di sisi lain, dalam bernegosiasi tarif dengan AS indonesia juga akan memperbaiki kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Lantas bagaimana Indonesia menghadapi tantangan-tantangan tersebut dalam bernegosiasi tarif dengan AS?
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menegaskan sejumlah catatan seperti TKDN dan ekonomi bawah tanah memang perlu dibenahi, namun bukan semata karena tekanan eksternal.
“Beberapa hal terkait TKDN dan underground economy memang merupakan PR besar kita. Dengan atau tanpa tuntutan dari AS, kita harus perbaiki, untuk meningkatkan daya tarik investasi dan melindungi produsen dalam negeri dari serangan produk ilegal atau selundupan,” ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (24/4/2025).
Namun, Wijayanto menegaskan Indonesia tidak harus tunduk pada semua desakan dari AS. Menurutnya, negosiasi adalah ruang tarik-menarik kepentingan, dan ada hal-hal yang merupakan bagian dari kepentingan nasional.
Adapun, terkait QRIS, Wijayanto menilai ini menyangkut national interest dan national security yang perlu dipertahankan.
“Sedangkan soal barang selundupan dan palsu, ini memang harus direspons secepatnya, bukan karena AS, tapi karena demi kepentingan produsen lokal kita,” tambahnya.
Kompromi Tetap Diperlukan
Sementara itu, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, menilai bahwa dalam konteks hubungan perdagangan global, kompromi tetap diperlukan. Ia menekankan pentingnya prinsip take and give dalam perundingan.
“Tarif dan perizinan impor kita memang harus dinegosiasikan karena bagaimanapun juga Amerika Serikat merupakan kekuatan ekonomi, politik, dan militer. Yang penting adalah take and give, jadi kita tidak cuma memberi, tapi juga meminta berbagai kemudahan,” ujar Eddy kepada Liputan6.com.
Junarsin juga menyoroti pentingnya mengalihkan perhatian dari sektor perdagangan informal seperti Mangga Dua ke arah pengembangan teknologi dan inovasi. Ia mengusulkan pendekatan baru yang lebih produktif terhadap kawasan tersebut.
“Eksistensinya menjadi tanda tanya. Saya kira sudah saatnya bakat-bakat bagus Indonesia diarahkan ke R&D, invensi, inovasi, dan komersialisasi berbagai teknologi baru. Jadi, Mangga Dua bisa jadi Technology Center di Jakarta dan Indonesia dalam artinya sebenarnya,” jelasnya.
Pertahankan Tujuan Strategis Nasional
Mengenai TKDN dan QRIS, Junarsin menyarankan pendekatan fleksibel yang tetap mempertahankan tujuan strategis nasional namun cukup lentur untuk kebutuhan diplomasi perdagangan.
“TKDN dan QRIS perlu dipertahankan dan diperjuangkan dalam negosiasi. Misalnya, tingkat TKDN diturunkan menjadi X% untuk dua tahun ke depan, namun setelahnya TKDN dinaikkan ke angka semula. Ini hanya contoh dalam mekanisme negosiasi,” pungkasnya.