Liputan6.com, Jakarta - Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional menunjukkan perlambatan hingga semester pertama 2025.
Sejumlah indikator mencatat tren moderat, mulai dari penjualan ritel yang melambat hingga turunnya tingkat kepercayaan konsumen.
Data Bank Mandiri bersama Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipaparkan oleh Persatuan Bank Nasioanl (Perbanas), mencatat pertumbuhan penjualan ritel pada Juni 2025 hanya tumbuh 2,0 persen secara tahunan (YoY). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 2,7 persen.
Memasuki kuartal II 2025, laju pertumbuhan ritel makin melambat, dipengaruhi oleh pola musiman dan kecenderungan masyarakat lebih berhati-hati dalam pengeluaran.
Pelemahan juga tampak pada Indeks Keyakinan Konsumen (CCI). Pada kuartal II 2025, CCI tercatat hanya sebesar 119,0, turun dari kuartal I yang berada di level 124,0. Penurunan ini mengindikasikan ada keraguan terhadap prospek ekonomi dan ketidakpastian pendapatan masyarakat pada kuartal II 2025.
Sejak kuartal I 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun, dari 5,11 persen hingga menyentuh 4,87 persen di Kuartal I 2025. Meski pada Kuartal II 2025 sedikit membaik ke 5,12 persen, konsumsi rumah tangga tetap stagnan di bawah 5 persen, yakni di angka 4.97 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 54 persen terhadap PDB.
Perlambatan Ekonomi
Hal inilah yang membuat terjadinya kehebohan di tengah masyarakat. Chief Economist Persatuan Bank Nasional (Perbanas), Dzulfian Syafrian, menilai capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% pada kuartal II 2025 bukan berarti mesin ekonomi nasional berjalan mulus.
Seluruh lapisan masyarakat baik di kelas menengah atas, menengah bawah, dan kelas bawah sedang mengalami perlambatan ekonomi.
"Itu juga yang menjelaskan lagi kenapa 5,12 (PDB kuartal 2) kemarin itu akhirnya heboh karena mesin ekonomi kita ini sebenarnya sedang tersendat. Baik itu di kelas menengah atas, menengah bawah sama kelas bawah,” ujar Chief Economist Persatuan Bank Nasional (Perbanas), Dzulfian Syafrian, dalam kelas bersama jurnalis di Griya Perbanas, (20/8/2025),
Pendapatan Naik, Konsumsi Malah Turun
Data 2024 memperlihatkan fenomena yang cukup janggal. Rata-rata pengeluaran riil nasional justru melambat tajam, hanya tumbuh 0,57 persen, padahal pada 2023 masih berada di level 5,44 persen. Penurunan ini mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat yang cukup nyata.
Konsumsi Rumah Tangga Hadapi Tantangan
Untuk menjaga konsumsi, pemerintah mempercepat realisasi bantuan sosial. Pada Juni 2025, realisasi bansos mencapai 55,7 persen dari pagu APBN, lebih tinggi dibanding rata-rata tahun sebelumnya.
Meski intervensi fiskal ini memberi bantalan, para analis menilai konsumsi rumah tangga masih menghadapi tantangan. Masyarakat cenderung menahan belanja di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terus menekan keyakinan konsumen.
Di sisi lain, pendapatan riil nasional tahun 2024 mengalami pertumbuhan 1,95 persen, naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 0,98 persen. Artinya, meskipun pendapatan masyarakat meningkat, pengeluaran mereka tidak ikut naik. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa masyarakat memilih menahan konsumsi di tengah peningkatan pendapatan?
Analis Ingatkan Mesin Ekonomi RI Sedang Tersendat
Sementara itu, ekonom senior Aviliani mengingatkan agar capaian pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen tidak membuat pemerintah merasa aman. Dia menilai, angka tersebut masih menyimpan sejumlah catatan penting.
“Jadi memang harapan dari banyak pemerintah itu adalah mereka mau menjelaskan mengenai metode-metode itu. Karena kenapa? Karena kalau tidak dijelaskan, itu memang akan menjadi selalu perbedaan, antara BPS dengan para ekonom,” ujar Ketua Bidang Riset & Kajian Ekonomi dan Perbankan (PERBANAS), Aviliani.
Ia menilai, perbedaan metodologi antara BPS dan para ekonom kerap menimbulkan selisih persepsi mengenai kondisi riil perekonomian. Pasalnya, konsensus para ekonom rata-rata hanya memperkirakan pertumbuhan di kisaran 4,7 hingga 4,8 persen pada periode tersebut.
"Para ekonom sendiri juga kalau kita lihat, rata-rata sekitar 4,7 sampai 4,8, ya kemarin rata-rata mereka konsensusnya yang terjadi pada triwulan 2 kemarin. Jadi itu memang kalau basisnya 5,12, ya otomatis memang jangan sampai semua pihak terlena, mengharap 5,12 aman-aman aja. Padahal kita masih melihat banyak PR yang harus diselesaikan pemerintah,” ia menambahkan.