Dana Daerah Mengendap Rp 233 Triliun di Bank, Ini Penjelasan Mendagri

4 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memaparkan alasan masih besarnya dana milik pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di bank. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), jumlah dana tersebut mencapai Rp 233,97 triliun. Tito menjelaskan, salah satu penyebab utama dana tersebut belum terserap adalah lambatnya realisasi belanja daerah.

“Kenapa anggaran tersebut ada di bank? Inilah faktor-faktor penyebabnya, di antaranya adalah adanya yang memang bekerja, nggak sesuai target,” kata Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Senin (20/10/2025).

Dari total dana Rp 233,97 triliun yang tersimpan di perbankan, sebesar Rp 178 triliun berbentuk giro, Rp 48 triliun dalam bentuk deposito, dan Rp 7,43 triliun dalam bentuk tabungan. Dana mengendap paling besar tercatat di tingkat kabupaten dengan Rp 134,26 triliun, disusul provinsi Rp 60,20 triliun, dan kota Rp 39,51 triliun.

Tito menyebut ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya dana pemda yang belum terserap tersebut. Pertama, adanya kebijakan Inpres No.1/2025 tentang efisiensi yang membuat pemda harus menyesuaikan pendapatan dan belanja melalui pergeseran anggaran, sehingga pelaksanaan APBD 2025 menjadi terlambat.

Penyesuaian Program Kerja

Kedua, perubahan visi, misi, dan program prioritas kepala daerah terpilih setelah pelantikan pada Februari 2025 juga berdampak pada penyesuaian program kerja.

Selain itu, kendala administratif dalam pelaksanaan berbagai jenis belanja, serta penyesuaian terhadap katalog elektronik versi terbaru turut memperlambat realisasi. Ia menambahkan, sebagian besar pengadaan fisik baru dimulai pada kuartal II dan III, sementara kecenderungan pembayaran belanja meningkat pada akhir tahun.

Tito menjelaskan, banyak rekanan memilih menunda pencairan dana hingga akhir tahun.

“Ada juga yang ingin membayar akhir tahun sehingga ditahan dulu. Banyak juga rekanan yang tidak mau mengambil uangnya dulu. Dia akan mengambilnya di akhir tahun. Sehingga akhirnya uangnya tersimpan di bank,” jelas Tito.

Lebih lanjut, dia menyoroti keterlambatan kementerian/lembaga dalam menetapkan petunjuk teknis Dana Alokasi Khusus (DAK), serta proses sertifikasi tanah yang masih berlangsung. Adapun pembayaran iuran BPJS oleh pemda juga mengalami penundaan karena proses rekonsiliasi data yang memakan waktu.

Menkeu Purbaya: Pengelolaan Keuangan Daerah Belum Optimal, Rp 100 Triliun Jadi SILPA Tiap Tahun

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti masih besarnya dana milik pemerintah daerah yang mengendap di perbankan serta tingginya saldo anggaran lebih (SILPA) yang terjadi setiap akhir tahun. Ia menilai kondisi tersebut mengindikasikan belum optimalnya pengelolaan keuangan daerah menjelang penutupan tahun anggaran.

Purbaya menjelaskan, berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah dana daerah yang tersimpan di bank mencapai Rp 233 triliun. Namun, data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan angka berbeda, yaitu Rp 215 triliun. Ia meminta agar perbedaan sebesar Rp 18 triliun itu segera ditelusuri.

“Yang pertama dicek Rp 18 triliun itu uang bedanya dimana kemana larinya,” ujar Purbaya usai Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025 bersama Menteri Dalam Negeri, Senin (20/10/2025).

Ia menambahkan, setiap tahun pemerintah daerah cenderung menghabiskan sebagian besar anggarannya di akhir tahun, namun tetap menyisakan sekitar Rp 100 triliun sebagai SILPA. Dana tersebut biasanya digunakan untuk membayar gaji atau kontrak pada minggu-minggu pertama di awal tahun berikutnya.

Siapkan Sistem Baru Agar Daerah Tak Perlu SILPA

Untuk mengatasi hal tersebut, Purbaya mengatakan pemerintah tengah menyiapkan sistem baru agar daerah tidak perlu lagi menyisakan SILPA dalam jumlah besar.

Sistem ini akan memungkinkan pemerintah pusat mentransfer dana ke daerah pada awal tahun anggaran, sehingga kebutuhan belanja dapat langsung terpenuhi tanpa harus menimbun kas.

“Sehingga minggu pertama, kedua, setiap tahun itu langsung ditransfer dari pusat. Pusat selalu sedang mengembangkan sistem seperti itu sehingga SILPA yang di pusat maupun daerah tidak akan berlebihan lagi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Purbaya menyoroti praktik penempatan dana daerah di bank-bank besar yang berlokasi di pusat. Ia mengatakan, penempatan dana seperti itu membuat daerah kehilangan likuiditas, sementara uang justru menumpuk di pusat. Akibatnya, pelaku usaha daerah kesulitan mengakses pinjaman karena perbankan di daerah kekurangan dana.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |