Liputan6.com, Jakarta - Centre of Srategic and International Studies (CSIS) atau CSIS Indonesia mengusulkan agar Pemerintah perlu mendesain ulang program prioritas supaya lebih efisien dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, memahami RAPBN 2026 menjadi tonggak penting pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebab, ini merupakan APBN pertama yang sepenuhnya dirancang dan akan dieksekusi oleh pemerintahan baru.
"RAPBN ini adalah RAPBN yang pertama yang secara penuh dirancang dan akan dieksekusi oleh pemerintahan Prabowo. RAPBN ini adalah perwujudan dan kelanjutan dari pelaksanaan program prioritas pemerintahan Prabowo yang sebenarnya telah dimulai tahun pertama," kata Deni Media Briefing RAPBN 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal, Senin (18/8/2025).
Adapun berbagai program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan 3 juta rumah, koperasi Merah Putih, hingga modernisasi pertahanan mendapat porsi anggaran besar.
Namun, ia menilai lonjakan anggaran ini menunjukkan keseriusan pemerintah mewujudkan janji politik.
CSIS Mengingatkan Konsekuensi
MBG misalnya, melonjak dari Rp171 triliun menjadi Rp335 triliun. Alokasi besar juga diberikan untuk koperasi Merah Putih Rp181,8 triliun, pembangunan rumah Rp57,7 triliun, serta ketahanan energi Rp402,4 triliun.
Namun, di balik angka fantastis itu, CSIS mengingatkan adanya konsekuensi serius terhadap postur fiskal. Keterbatasan ruang fiskal membuat pemerintah harus menjaga defisit tetap terkendali di 2,48 persen.
"Keterbatasan ruang fiskal dan upaya pemerintah untuk menjaga defisit APBN di bawah 3 persen, dalam hal ini defisitnya menjadi 2,48 persen, itu membuat pelaksanaan program-program tersebut berpotensi untuk memaksa peningkatan penerimaan negara dan atau mengorbankan belanja-belanja lainnya," ujarnya.
Risiko Crowding Out dan Sentralisasi
Deni juga menyoroti potensi efek crowding out dari pembiayaan program-program raksasa tersebut. Keterlibatan bank-bank Himbara hingga Bank Indonesia dalam menyalurkan kredit atau membeli SBN untuk mendukung pembiayaan, menurut dia, bisa mengurangi ruang gerak sektor swasta. Akibatnya, investasi dan konsumsi swasta berpotensi terganggu.
"Adanya program-program ini juga berpotensi dapat memicu crowding out efek terhadap konsumsi dan investasi swasta. Terutama ketika ini melibatkan Bank Indonesia atau Bank-Bank Himbara yang dipaksa untuk turut membiayai program-program tersebut," jelasnya.
Selain itu, pelaksanaan program prioritas skala nasional yang banyak melibatkan pemerintah pusat, bahkan TNI dan Polri, menunjukkan kecenderungan meningkatnya sentralisasi. Sementara itu, ruang fiskal daerah justru menyempit akibat menurunnya transfer ke daerah (TKD).
Efisiensi Jadi Kunci Keberlanjutan
Menghadapi kondisi ini, CSIS merekomendasikan agar pemerintah meninjau ulang desain pelaksanaan program-program prioritas.
Bukan berarti membatalkan, tetapi memastikan skema eksekusi yang lebih efisien, transparan, dan tepat sasaran. Menurut Deni, dengan desain yang matang, pemerintah dapat menekan risiko pemborosan anggaran sekaligus menjaga daya tahan fiskal jangka menengah-panjang.
Tanpa itu, program raksasa justru berpotensi menjadi beban berat bagi APBN dan perekonomian. "Saran kami adalah ketimbang memaksakan program-program prioritas dalam skala yang besar, pemerintah sebaiknya perlu meninjau kembali desain pelaksanaan program-program prioritas tersebut guna meningkatkan efisiensi," pungkasnya.