Liputan6.com, Jakarta - Citi Indonesia menilai kondisi perekonomian nasional masih menyisakan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan. Hal ini dipengaruhi oleh tren pertumbuhan kredit yang belum sepenuhnya pulih, serta suku bunga riil yang masih tergolong tinggi.
"Pertama kami berpandangan bahwa ruang penurunan suku bunga dan ruang penurunan BI Rate masih terbuka, di tengah lambatnya momentum pertumbuhan kredit,” ujar Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman dalam konferensi pers Pemaparan Ekonomi dan Kinerja Keuangan Triwulan II 2025 di Jakarta, ditulis Rabu (20/8/2025).
Helmi menjelaskan, meski Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 lebih kuat dari perkiraan, tetapi perbaikan itu masih belum merata di seluruh sektor. Pertumbuhan kredit juga masih cenderung melemah. Jika dihitung dari suku bunga acuan BI yang dikurangi inflasi inti, posisi suku bunga riil di Indonesia dinilai masih cukup tinggi.
Dengan inflasi yang relatif terkendali, harga komoditas yang stabil, serta produksi pangan yang meningkat, Citi melihat peluang penurunan BI Rate masih terbuka hingga akhir tahun.
Permintaan Dolar AS Turun, Pasar Obligasi RI Menguat
Citi Indonesia juga menilai fundamental pasar valuta asing (valas) terdapat perbaikan. Permintaan dolar dari korporasi untuk kebutuhan untuk pembiayaan ulang utang lama dengan pinjaman baru (refinancing) mulai menurun, seiring berakhirnya gelombang pembiayaan ulang utang dalam mata uang asing yang marak dua hingga tiga tahun terakhir.
Selain itu, tren konversi devisa hasil ekspor ikut meningkat, sehingga memperkuat pasokan dolar AS di pasar domestik. Kondisi global pun turut mendukung, dengan meningkatnya aliran dana asing ke aset obligasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Saat ini, lebih dari 20 bank sentral dunia telah menurunkan suku bunga, sementara hanya tiga yang masih menaikkannya. Citi memperkirakan tren ini berlanjut dalam beberapa kuartal mendatang. Bahkan, The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan mulai memangkas suku bunga lagi pada September 2025, dengan proyeksi hingga tiga kali penurunan pada tahun ini.
Situasi ini membuat Indonesia ikut diuntungkan sebagai salah satu pasar obligasi terbesar di Asia, karena aliran dana ke instrumen berbasis mata uang lokal diprediksi tetap deras.
Proyeksi APBN 2026 Lebih Ekspansif
Tak hanya dari sisi moneter, Citi Indonesia juga menyoroti arah kebijakan fiskal. APBN 2026 dinilai berpotensi lebih ekspansif dibanding tahun sebelumnya, terutama karena realisasi belanja pemerintah diperkirakan meningkat setelah sempat tertahan pada 2025 akibat transisi pemerintahan dan realokasi anggaran.
“Kami melihat bahwa APBN 2026 berpotensi lebih stimulatif dibandingkan 2025. Realisasi belanja pemerintah di tahun depan seharusnya lebih baik, sehingga ikut menopang pertumbuhan ekonomi," ujar Helmi.
Meskipun pada kuartal I dan II konsumsi pemerintah negatif secara tahunan (YoY), sehingga ikut berdampak terhadap perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, Citi menilai prospek tahun depan lebih positif.
Kebutuhan Pembiayaan Utang Meningkat
Walaupun kebutuhan pembiayaan utang pada 2026 diperkirakan meningkat, terutama dari pasar obligasi, suplai obligasi pemerintah dinilai masih bisa terserap.
Hal ini karena tren suku bunga global yang cenderung menurun diperkirakan akan melonggarkan likuiditas perbankan domestik. Dana yang saat ini banyak terparkir di instrumen operasi pasar terbuka Bank Indonesia, seperti SRBI, berpotensi mencari penempatan baru baik dalam bentuk penyaluran kredit maupun investasi di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Dengan kombinasi faktor tersebut, Citi memperkirakan perekonomian Indonesia membaik, seiring dengan ada penempatan dana oleh pemerintah di perbankan domestik yang akan akan berdampak baik ke perbankan secara umum. Potensi penurunan suku bunga BI, stabilitas rupiah, hingga APBN yang lebih ekspansif dipandang mampu menjadi penopang pertumbuhan di tengah tantangan global.