China Tuding AS Pura-Pura jadi Korban Setelah Perang Dagang Kembali Memanas

4 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengaku terkejut atas langkah China yang "mengejutkan" dengan memberlakukan kontrol ekspor luas terhadap tanah jarang (rare earth). Ia menuduh China mulai “bersikap sangat bermusuhan.”

Namun, menurut Pemerintah China, justru perluasan pembatasan Amerika Serikat terhadap perusahaan-perusahaan China yang memperburuk suasana dan memicu Negeri Tirai Bambu memperketat kendali atas mineral penting yang menjadi bahan baku berbagai elektronik, otomotif, hingga semikonduktor.

Dalam eskalasi cepat akhir pekan lalu, Trump menyatakan siap mengembalikan tarif terhadap China ke level tiga digit akibat kebijakan baru Beijing tersebut. China pun membalas untuk bersumpah mengambil “tindakan yang sesuai.” Demikian mengutip dari CNN, Selasa (14/10/2025).

Ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia itu kembali mengguncang pasar, memicu kekhawatiran gangguan produksi global, dan membangkitkan bayang-bayang perang tarif seperti musim semi lalu ketika pungutan bea impor kedua negara sempat mencapai tingkat yang setinggi embargo dagang.

Situasi ini juga mengancam kemajuan perundingan yang telah dibangun selama berbulan-bulan dan menimbulkan tanda tanya soal jadi tidaknya pertemuan antara Presiden China, Xi Jinping, dan Trump di Korea Selatan akhir bulan ini.

Donald Trump sempat mengisyaratkan pertemuan mungkin dibatalkan, tapi Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengatakan kepada Fox News pada Senin ia masih yakin pertemuan tetap berlangsung.

Kementerian Perdagangan China pada Selasa menyatakan tetap terbuka untuk dialog, namun menegaskan AS tak bisa mengajak bicara sambil mengancam tindakan baru.

China Menilai AS Penyebab Ketegangan

Menurut para analis, sebagian besar eskalasi saat ini bisa dihindari jika pemerintahan Trump tidak menambah daftar panjang entitas China yang masuk kontrol ekspor pada akhir September. Jumlah perusahaan yang terdampak di China melonjak dari sekitar 3.000 menjadi beberapa ribu lagi.

Dari Mereda dan Kembali Memanas

Seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renminn di Beijing, Jin Canrong, dan penasihat pemerintah, mengatakan China hanya merespons “manuver kecil” Washington.

"Setelah menyerang China, AS kini berpura-pura tak bersalah dan bahkan mencoba berperan sebagai korban,” tulisnya di media sosial Weibo pada Sabtu, 11 Oktober 2025.

Selama musim panas, hubungan AS-China sempat menunjukkan tanda-tanda mereda, terutama setelah pembicaraan dagang di Madrid pada September dan panggilan telepon antara Xi dan Trump, menurut dekan Institut Studi Internasional di Universitas Fudan di Shanghai, Wu Xinbo, yang juga menjabat sebagai penasihat Kementerian Luar Negeri China.

Dalam percakapan itu, Xi menilai positif proses negosiasi namun mengingatkan Trump agar tidak memberlakukan pembatasan sepihak yang bisa merusak kemajuan.

Namun, hanya 10 hari setelahnya, Washington memperluas kontrol ekspor dengan menambahkan anak perusahaan dari entitas yang sudah disanksi, sehingga jumlah perusahaan yang terkena pembatasan bertambah drastis.

“Dari sudut pandang China, ini sangat jahat,” ujar Wu Xinbo, Ia menambahkan bahwa hal ini sekali lagi menunjukkan Trump kembali “bertindak dengan itikad buruk.”

Tindakan AS Rugikan Kepentingan China

Menurut Wu, jika setelah lebih dari setengah tahun bernegosiasi dengan China, pihak AS belum memahami konsekuensi tindakannya, artinya “orang-orang di tim Trump sungguh tidak kompeten.”

Kementerian Perdagangan China menyuarakan sentimen ini pada Minggu, mengutip contoh tambahan seperti rencana AS untuk mengenakan biaya pada kapal buatan Tiongkok yang berlabuh di pelabuhan Amerika.

Tindakan AS ini "telah sangat merugikan kepentingan Tiongkok dan merusak suasana perundingan ekonomi dan perdagangan bilateral," kata kementerian tersebut, mendesak Washington untuk "mempertahankan kemajuan yang telah dicapai dengan susah payah," sambil berjanji akan mengambil tindakan balasan jika Trump benar-benar mewujudkan ancaman terbarunya.

Deja Vu Eskalasi

Pakar China dan teknologi dari Albright Stonebridge, Paul Triolo, menyebut situasi ini mengingatkan pada spiral penurunan hubungan pada Mei lalu.

"Kita seperti berada di tepi jurang lagi," kata dia.

"Namun kini bahkan taruhannya lebih tinggi karena kini kedua pihak sudah tahu konsekuensinya.”

Setelah gencatan dagang dan kesepakatan memangkas tarif secara besar-besaran dalam pembicaraan di Jenewa, Trump menjatuhkan sejumlah kebijakan mengejutkan:

  • Melarang perusahaan global memakai chip AI Huawei,
  • Memperluas kontrol ekspor perangkat lunak desain chip, dan
  • Mengancam mencabut visa pelajar China di AS.

Langkah-langkah tersebut sempat menggagalkan negosiasi selama beberapa minggu sebelum pembicaraan lanjutan berhasil menyelamatkan gencatan rapuh tersebut.

Triolo menilai, langkah China mengendalikan ekspor rare earth adalah respons “logis” dan “proporsional” terhadap skala tindakan Trump, bukan upaya baru mencari leverage dalam negosiasi.

Menganut Strategi AS

China mendominasi hampir seluruh pasokan rare earth global, kelompok 17 mineral penting, terutama dalam proses pemurnian dan produksinya.

Aturan baru tak hanya menambah jumlah elemen yang dikendalikan ekspornya, tetapi juga memperluas pembatasan untuk teknologi produksi serta pemanfaatannya di luar negeri.

Misalnya, aturan berlaku pada perusahaan asing yang memasok rare earth yang diproduksi di China atau diproses dengan teknologi China ke negara lain.

Kebijakan ini mengguncang industri global dan rantai pasokan teknologi.

Sejak China memperkenalkan aturan izin ekspor rare earth pada April lalu, sektor otomotif hingga pertahanan melaporkan kekurangan pasokan mineral penting tersebut.

Aturan baru yang menyasar mineral rare earth yang digunakan untuk mengahasilkan semikonduktor juga berpotensi menahan laju perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI), yang bergantung pada chip-chip tersebut.

Untuk meredakan kekhawatiran global, Kementerian Perdagangan China menyatakan aturan itu bukan pelarangan ekspor total dan izin akan diberikan bila memenuhi syarat.

Langkah China

Para ahli menyebut kebijakan Beijing mencerminkan pembatasan yang selama ini diterapkan Washington terhadap semikonduktor, termasuk "Foreign Direct Product Rule"  atau “Aturan Produk Langsung Asing” pada era Biden yang membatasi ekspor chip dan peralatannya ke China, meski dibuat di negara ketiga dengan teknologi AS.

China meski sudah lama mengkritik AS karena menerapkan “yurisdiksi panjang tangan AS,” langkah China menunjukkan kesiapan menerapkan strategi serupa.

“Dari masa jabatan pertama Trump ke Biden hingga kini periode kedua Trump, AS menumpuk tarif, pembatasan teknologi, dan sanksi terhadap China,” ujar Wu dari Fudan.

"Beijing mencatat setiap langkah itu, dan sekarang saatnya menyelesaikan masalah ini.”

Terkait keberlanjutan pertemuan pemimpin kedua negara, Wu menegaskan keputusan ada di tangan Trump.

“AS harus mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki hubungan. Bukan sebaliknya —  China yang mengorbankan atau menolerasi tekanan AS hanya demi pertemuan,” ujarnya.

Menariknya, Trump tampak mengubah nada bicara terhadap China. Dalam sebuah unggahan di Truth Social pada hari Minggu, ia menyebut AS ingin “membantu China, bukan menyakitinya.”

“Jangan khawatir soal China, semuanya akan baik-baik saja!” tulisnya tanpa penjelasan lebih lanjut.

China Pelajari Cara Hadapi Trump

Akademisi hubungan internasional di Universitas Renmin, Wang Yiwe mengatakan, China sudah lama mempelajari cara menghadapi Trump sejak periode pertamanya. Kini mereka “benar-benar siap—memahami ‘seni berunding’-nya, taktiknya, dan titik kelemahan AS.”

“Saat ini, menurut saya justru AS yang gelisah—bukan China,” kata Wang. Ia menambahkan Trump menghadapi tekanan besar di dalam negeri akibat penutupan pemerintah (shutdown) pemerintahan berkepanjangan meski Partai Republik menguasai eksekutif dan legislatif.

Dengan kontrol kuat China atas rare earth, Wang menilai ketergantungan AS terhadap China akan terus berlanjut, setidaknya dalam jangka pendek.

"Pesan untuk Amerika: bersikap realistis — bekerja sama dengan China jauh lebih baik,” tegasnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |