Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi digital yang pesat memang tak bisa dihentikan. Inovasi hadir setiap hari dan memberi berbagai kemudahan dalam rutinitas.
Namun, hal ini juga membuka ruang baru bagi kejahatan siber. Salah satunya adalah scam keuangan yang kini semakin beragam dan terorganisir. Karena itu, kemampuan untuk beradaptasi menjadi kunci agar tidak terjerat dengan kejahatan ini.
Pengamat Siber Alfons Tanujaya menilai, Indonesia memiliki tingkat kasus yang cukup tinggi dibanding negara lain.
"Kalau di Indonesia, ini kita harus jujur juga ya kepada diri kita, bahwa Indonesia itu termasuk yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain," ujar Alfons saat program "Jadi Tahu", Kamis, 25 September 2025.
Mendukung argumen tersebut, perwakilan PPATK, Rini Widiastuti mengungkapkan, jumlah perputaran dana dari kasus scam di Indonesia cukup fantastis. Ia menyebut, pada 2023, perputaran dananya mencapai Rp 624,27 triliun. Kemudian, turun pada 2024 menjadi Rp 40,05 triliun.
Per Agustus 2025 perputaran dana ini kembali meningkat menjadi Rp 59,14 triliun. Naik sekitar Rp 19 triliun dibanding tahun lalu.
Jenis-jenis scam yang muncul pun semakin beragam. Berbagai bentuk penipuan digital ini memanfaatkan kelengahan korbannya untuk meraup keuntungan.
Modus Paling Banyak
Rini menyampaikan, modus scam yang paling sering dilaporkan pada PPATK adalah Business Email Compromise (BEC) dan penipuan berkedok lowongan kerja.
"Scam-scam yang ditemukan oleh PPATK yang sering masuk di teman-teman PPATK, yang pertama Bisnis Email Compromise,” ujarnya kepada Liputan6.
Bisnis Email Compromise (BEC) dilakukan dengan cara mengirimkan email seolah berasal dari klien atau perusahaan resmi. Isi email biasanya berisi instruksi pembayaran, yang mengarahkan korban untuk mentransfer dana ke rekening baru.
Menurut Rini, modus ini sulit dikenali karena alamat email sengaja dibuat sangat mirip dengan email resmi.
"Emailnya itu mirip banget, biasanya hanya ditambahkan satu huruf atau angka dengan email resmi. Jadi korban percaya dan akhirnya mentransfer dana ke rekening yang berbeda,” ungkap Rini.
Penipuan Berkedok Rekrutmen Kerja
Selain BEC, PPATK juga menemukan maraknya penipuan berkedok rekrutmen kerja. Rini menyebut bahwa dalam kasus ini, korban diiming-imingi pekerjaan, namun sebelum diberangkatkan mereka diminta mentransfer sejumlah dana.
“Jadi diiming-imingi dengan pekerjaan, nanti korban diminta untuk mentransfer sejumlah dana kepada pelaku namun ujung-ujungnya juga tidak jadi berangkat,” jelasnya.
Pola dari dua modus scam tersebut sama, yakni korban diarahkan untuk mengirim uang ke rekening yang dikendalikan pelaku.
Sejalan dengan hal tersebut, Alfons mengingatkan masyarakat untuk selalu memeriksa keaslian alamat email pengirim sebelum percaya dan menindaklanjuti pesan.
"Jadi emailnya itu ditambahin huruf atau angka, mirip benar-benar. Nah, kita hati-hati pada saat meneruskan dana itu harus dipastikan benar itu adalah email resmi,” pesannya.
Tips Pencegahan
Untuk mencegah peningkatan jumlah korban, PPATK bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (KOMDIGI) menyediakan platform cekrekening.id. Layanan ini memungkinkan masyarakat untuk melakukan verifikasi terhadap rekening tujuan transfer.
Rini menjelaskan,“Cekrekening.id bisa digunakan untuk mengetahui apakah rekening yang diterima masyarakat masuk blacklist atau tidak.”
Selain sebagai alat verifikasi, masyarakat juga bisa melaporkan rekening mencurigakan yang terindikasi melakukan penipuan.
"Jadi, bisa juga masyarakat melaporkan ke cekrekening.id, rekening ini bermasalah, bisa dilaporkan di platform tersebut," imbuh Rini.
Laporan ini akan diproses dan rekening tersebut akan masuk dalam daftar hitam Komdigi. Dengan begitu, scammer tidak lagi bisa menggunakan rekening tersebut untuk menipu korban lainnya.