Campuran Etanol ke BBM Bukan Hal Baru, Sudah Diuji Coba Sejak 1980-an

1 day ago 12

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Pertambangan dan Energi Prof Wardana mengungkapkan bahwa riset penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Saat itu pihaknya bahkan mencampur etanol sebanyak 20-30 persen ke dalam BBM. Sehingga, menurut dia isu campuran etanol ke dalam BBM bukanlah hal baru dan sudah teruji keamanannya sejak lama.

“Kalau gasohol (gasoline alcohol) itu tahun 80-an, ya. Jadi waktu itu kita dapat dana besar dari BBBT. Tujuannya untuk menguji etanol 20 persen yang dicampur ke bensin,” ujar Prof. Wardana dikutip Jumat (17/10/2025).

Ia menjelaskan riset tersebut didasari potensi besar Indonesia dalam memproduksi etanol dari singkong. Namun, program itu tidak berlanjut karena harga bahan bakar fosil di dalam negeri terlalu murah pada masa itu. Kala itu, ia mengungkapkan penelitian dilakukan dengan dukungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di bawah arahan B.J. Habibie. Namun kini, menurut Wardana, kondisi sudah berubah dan menjadikan program biofuel kembali relevan.

“Sekarang kondisinya berbeda. Harga bahan bakar jadi mahal, dan kita sudah impor. Nah, idenya Pak Habibie waktu itu adalah mengganti bahan bakar dengan yang bersih, karena etanol itu bahan bakar yang bersih. Tapi ya itu tadi, karena dulu harga BBM kita murah, programnya tidak jalan,” jelasnya.

Campuran Etanol ke BBM Dinilai Lebih Efisien

Prof. Wardana juga mengungkapkan hasil riset terbaru menunjukkan bahwa campuran etanol dalam bahan bakar justru meningkatkan efisiensi dan kualitas pembakaran mesin. Sebab campuran etanol meningkat kadar oktan dalam BBM.

“Menurut hasil penelitian saya sekarang dengan mahasiswa S2, penambahan etanol justru meningkatkan kualitas bahan bakar. Jadi misalnya kita beli bahan bakar murah, lalu kita campur sendiri, kualitasnya bisa naik,” katanya.

Dari sisi kebijakan, pemerintah melalui Kementerian ESDM kini tengah menyiapkan mandatori E10 (etanol 10%) untuk bensin dan B50 (biodiesel 50%) untuk solar pada 2026. Langkah ini, menurut Prof. Wardana, bisa mengurangi impor minyak hingga 10–20 persen, karena sebagian besar bahan bakar yang diimpor digunakan untuk transportasi.

“Dengan menaikkan campuran biofuel, hampir semua BBM yang kita impor itu untuk kendaraan. Jadi kalau kita pakai E10 atau B50, impor kita bisa turun 10 sampai 20 persen,” ujarnya.

Kementerian ESDM Target Kewajiban E10 untuk BBM Berlaku 2028

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) target menetapkan mandatori atau kewajiban campuran bioetanol 10 persen (E10) untuk BBM jenis bensin (gasoline) pada 2028.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, program E10 bakal melalui tahapan uji coba pasar (trial market) selama 2-3 tahun terlebih dahulu. Sebelum nantinya diwajibkan untuk BBM non subsidi.

"Jadi penerapannya di sekitar 2028, dan itu untuk non PSO dulu," ujar Eniya di Jakarta, dikutip Kamis (16/10/2025).

Saat ini, PT Pertamina (Persero) tengah melakukan trial market untuk BBM campuran bioetanol 5 persen (E5) pada produk Pertamax Green 95. Adapun kandungan 5 persen bioetanol tersebut dihasilkan dari molase atau ampas tebu.

Uji coba pasar Pertamax Green 95 akan terus dilaksanakan hingga 2026 mendatang. Sebelum masuk ke tahap E10, Eniya berharap tingkat konsumsi untuk produk campuran bioetanol 5 persen tersebut semakin membesar.

"Tahun depan sudah pasti bergerak untuk E5. Kita harapkan E5 bertumbuh. Saya pinginnya itu konsumsinya makin tumbuh," imbuh dia.

Siapkan Kepmen ESDM untuk Mandatori Bioetanol

Demi merealisasikan pentahapan mandatori bioetanol, Kementerian ESDM saat ini tengah menyusun Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM. Selain menilik kesiapan pasar, kebutuhan 1,2 juta kiloliter (KL) etanol untuk menerapkan mandatori E10 pun turut dipertimbangkan.

"Nanti kalau ada mandatori, baru nanti keluar Kepmen, kita sedang bahas Kepmen. Karena Kepmen pentahapannya itu jadi acuan dari para investor atau pengusaha," kata Eniya.

"Kalau E10 ditetapkan, berarti kita perlu 1,2 juta kiloliter, untuk non PSO dulu. Jadi non PSO itu kita harapkan konsumsinya makin tinggi. Karena kan sekarang trennya dari PSO ke non PSO," tutur dia.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |