BSU Tak Sentuh Akar Masalah, 75% Pekerja Bergaji Rendah Justru Tak Terjangkau

5 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang digulirkan pemerintah dinilai belum menyentuh mayoritas kelompok sasaran. Dalam rencana penyalurannya, BSU hanya ditujukan kepada 17,3 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan.

Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis dalam laporan CORE insight oleh Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, jumlah pekerja bergaji di bawah Rp 3,5 juta mencapai sekitar 95 juta orang.

Dengan kata lain, cakupan Bantuan Subsidi Upah hanya menyasar sekitar 18% dari kelompok pekerja yang seharusnya mendapatkan bantuan tersebut. Diskrepansi besar ini mengindikasikan keterbatasan dalam skema BSU yang dirancang.

Dengan 75% dari total tenaga kerja Indonesia berada di kelompok bergaji rendah, bantuan yang menjangkau kurang dari seperlima dari mereka menimbulkan pertanyaan besar soal efektivitas program ini dalam meredam tekanan ekonomi.

CORE menekankan bahwa ketimpangan ini bisa menyebabkan ketidaktepatan sasaran dan menurunkan potensi stimulus ekonomi yang diharapkan dari bantuan sosial. “BSU yang disalurkan pemerintah hanya menjangkau sekitar 18% dari kelompok pekerja yang seharusnya menjadi target bantuan,” tulis CORE dalam laporan terbarunya, dikutip Rabu (18/6/2025).

Syarat BPJS jadi Tembok untuk Pekerja Informal

Masalah lain dari penyaluran BSU adalah desain kebijakan yang belum menyentuh pekerja sektor informal. Salah satu syarat utama penerima BSU adalah harus menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Syarat ini secara otomatis mengecualikan jutaan pekerja informal seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, buruh harian, tukang bangunan, dan pekerja lepas lainnya—kelompok yang juga sangat terdampak tekanan ekonomi.

Padahal, pekerja informal merupakan tulang punggung ekonomi sektor riil, terutama di daerah urban dan semi-urban. Mereka menghadapi ketidakpastian pendapatan harian, tidak memiliki perlindungan sosial, dan sangat rentan terhadap guncangan harga kebutuhan pokok. Tanpa skema perlindungan khusus, kelompok ini tetap terjebak dalam siklus kerentanan ekonomi yang terus berulang setiap terjadi krisis.

“Kelompok pekerja informal ini juga terdampak tekanan ekonomi, terutama dalam situasi harga kebutuhan pokok yang terus naik dan daya beli yang melemah,” ungkap CORE.

Penebalan Bansos Jangka Pendek, Tapi Terbatas Efeknya

Sebagai respons atas pelemahan daya beli, pemerintah mengalokasikan tambahan anggaran Rp 11,93 triliun dari APBN 2025 untuk mempertebal program bantuan sosial. CORE mencatat, tambahan bansos akan disalurkan melalui program Kartu Sembako sebesar Rp200 ribu per bulan selama Juni–Juli 2025 kepada 18,3 juta penerima. Selain itu, Keluarga Penerima Manfaat (KPM) juga akan mendapat 10 kg beras per bulan, atau total 20 kg selama dua bulan.

Langkah ini diharapkan dapat menahan laju penurunan konsumsi rumah tangga, setidaknya dalam jangka pendek. Namun, CORE mengingatkan bahwa jika target kebijakan ini juga mencakup stimulus ekonomi yang lebih luas, maka intervensi tidak boleh terbatas pada kelompok rentan saja. Perluasan cakupan hingga kelas menengah menjadi penting untuk menjaga daya dorong terhadap konsumsi domestik sebagai motor pertumbuhan ekonomi.

“Jika target stimulus juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bantuan untuk kelompok kelas menengah juga tidak boleh terlewatkan,” tegas CORE dalam laporan tersebut.

Kelas Menengah Tertinggal, Stimulus Minim dan Kurang Efektif

Kelas menengah dan kelompok calon kelas menengah memiliki kontribusi lebih dari 50% terhadap konsumsi nasional. Namun dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kelompok ini justru mengalami penyusutan, sementara bantuan sosial yang ditujukan khusus kepada mereka masih sangat minim. Dari lima stimulus pemerintah, hanya sedikit yang secara langsung menyasar kebutuhan kelompok ini.

Stimulus berupa diskon tarif tol dan transportasi yang sempat diberikan, termasuk saat mudik Lebaran 2025, dinilai belum cukup ampuh. Kementerian Perhubungan mencatat bahwa jumlah perjalanan dalam dan antarprovinsi justru turun 4,69% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadi indikator bahwa insentif yang diberikan belum mampu membangkitkan kembali konsumsi dari kelas menengah yang selama ini menjadi penopang utama perekonomian.

“Jumlah perjalanan selama Lebaran 2025 turun 4,69% dibandingkan tahun sebelumnya… Ini menunjukkan, insentif yang diberikan belum cukup efektif mendorong partisipasi masyarakat, khususnya dari kelompok kelas menengah,” catat CORE.

Stimulus BSU Dinilai Terlambat

Banyak pekerja berupah rendah terhambat oleh persyaratan administratif yang sulit dipenuhi, meski mereka justru paling terdampak oleh kenaikan biaya hidup.

"Pertanyaan mendasar muncul, apakah BSU ini benar-benar menyentuh mereka yang paling membutuhkan, atau hanya menjadi populis fiskal yang terlambat (too late, too little) untuk mengatasi tekanan biaya hidup yang kian membebani?" ujar Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat.

Achmad menilai BSU seharusnya dapat memperkuat daya beli kelompok berpenghasilan rendah, yang cenderung langsung membelanjakan tambahan uangnya untuk kebutuhan pokok. Namun, karena basis data penerima hanya mengacu pada kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, jutaan pekerja informal, honorer, dan sektor mikro terlewat. “Ketika data primer tidak valid, dampak langsung pada daya beli hanya menjadi angan,” tambahnya.

Dengan nilai bantuan yang hanya Rp 600 ribu untuk dua bulan, BSU dipandang simbolis di tengah lonjakan harga pangan dan transportasi. Di tengah perlambatan ekonomi global, pemerintah memang memerlukan stimulus cepat untuk menahan konsumsi rumah tangga, namun lambatnya proses verifikasi dan pencairan membuat efektivitas program ini menurun. "BSU yang terlambat dan berskala terbatas hanya menjadi tempelan kecil yang sulit menjaga momentum pemulihan," pungkas Achmad.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |