Liputan6.com, Jakarta Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tercatat telah memborong obligasi bernilai lebih dari USD 100 juta atau setara Rp1,6 triliun, sejak kembali menjabat pada Januari 2025.
Langkah investasi itu terungkap dalam dokumen setebal 33 halaman yang diserahkan Trump kepada U.S. Office of Government Ethics (OGE) pada 12 Agustus lalu, dan dipublikasikan ke publik pada Selasa (19/8/2025).
Laporan tersebut mencatat 690 transaksi keuangan yang dilakukan Trump selama menjabat.
CNBC menghitung, nilai transaksi itu mencapai sedikitnya USD 100 juta dengan mengacu pada batas nilai terendah yang dicantumkan dalam dokumen.
Investasi ke Pemerintah Daerah hingga Perusahaan Raksasa
Dalam laporan tersebut, Trump diketahui membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah lokal, otoritas gas, penyedia air bersih, rumah sakit, hingga dewan sekolah.
Tak hanya itu, presiden yang kini memiliki kekayaan bersih USD 5,5 miliar itu juga mengoleksi surat utang dari sejumlah perusahaan besar.
- Pada Februari, Trump membeli obligasi T-Mobile, United Health, dan Home Depot masing-masing senilai USD 500 ribu hingga USD 1 juta.
- Masih di bulan yang sama, ia juga membeli surat utang dari Meta, induk Facebook dan Instagram, dengan nilai USD 250 ribu hingga USD 500 ribu.
Hingga kini, Gedung Putih belum memberikan komentar terkait langkah investasi tersebut.
Potensi Konflik Kepentingan
Obligasi atau surat utang biasanya diterbitkan perusahaan maupun pemerintah untuk membiayai proyek, melunasi utang lama, hingga menjaga stabilitas keuangan. Pemilik obligasi akan mendapatkan bunga rutin serta pengembalian pokok pinjaman pada akhir periode.
Namun, sejumlah pihak menyoroti potensi konflik kepentingan dari investasi Trump. Pasalnya, beberapa perusahaan yang surat utangnya dibeli Trump pernah terdampak langsung oleh kebijakan pemerintahannya.
Sebelumnya, kelompok pengawas Citizens for Responsibility and Ethics in Washington mengingatkan, setiap presiden modern sebelum Trump selalu memilih melepas kepentingan bisnis pribadi ketika menjabat.
Meski begitu, berdasarkan aturan federal, presiden dan wakil presiden AS memang memiliki pengecualian dari sebagian regulasi terkait konflik kepentingan pejabat federal.
Forbes mencatat, sejak 2020 hingga kini, Trump menikmati periode pasca-kepresidenan paling menguntungkan dalam sejarah AS berkat sejumlah bisnis dan produk yang ditujukan kepada para pendukungnya.