Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyatakan kewaspadaan terhadap dinamika global terbaru menyusul kebijakan Amerika Serikat (AS) yang memperluas pemberlakuan tarif dari semula 44 negara menjadi 70 negara.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter (DKEM) Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, mengatakan kebijakan ini dinilai menimbulkan risiko pelemahan ekonomi dunia yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya.
Ia menyebut bahwa dampak kebijakan tarif tersebut berbeda-beda di setiap negara. Ada yang mengalami kenaikan beban tarif, tetapi ada juga yang mendapat penurunan.
Sebagai contoh, di India sebelumnya dikenakan tarif sebesar 25 persen, namun kini tarifnya dinaikkan menjadi 50 persen. Hal yang sama dialami negara Swiss yang semula tarifnya 31 persen menjadi 39 persen.
"Jadi, negara-negara itu, negara-negara utama yang mengalami kenaikan tarif dibandingkan dengan pengumuman sebelumnya," kata Juli dalam Media Briefing di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jumat (22/8/2025).
Kendati demikian, sejumlah negara justru mendapat keringanan tarif, termasuk Indonesia. Produk Indonesia yang awalnya dikenakan tarif 32 persen kini hanya 19 persen.
Hal serupa juga dialami negara-negara Eropa yang tarifnya dipangkas dari 50 persen menjadi 15 persen. Sementara itu, Tiongkok mengalami penurunan yang signifikan dari 145 persen menjadi 41 persen.
Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Juli, fenomena ini memperlihatkan bahwa kebijakan tarif tidak bersifat seragam. Dampaknya bisa memperberat perekonomian negara tertentu, namun bagi negara lain justru bisa menjadi peluang untuk meningkatkan daya saing.
Meluasnya kebijakan tarif memaksa BI untuk menyesuaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi sejumlah negara. Amerika Serikat misalnya, direvisi turun dari 2,1 persen menjadi 2,0 persen.
Kemudian, India yang mengalami kenaikan tarif signifikan dipangkas proyeksinya dari 6,6 persen menjadi 6,5 persen.
Sebaliknya, negara-negara yang memperoleh penurunan tarif diperkirakan mampu mencatat pertumbuhan lebih tinggi. Misalnya pertumbuhN kawasan Eropa direvisi naik dari 0,9 persen menjadi 1 persen, kemudian Tiongkok semula 4,3 persen naik menjadi 4,6 persen, dan Jepang dari 0,8 persen naik menjadi 1 persen.
Pertumbuhan Global Berpotensi Melemah
Perekonomian dunia melemah sejalan dengan meluasnya implementasi tarif resiprokal Amerika Serikat (AS). Sejak 7 Agustus 2025, tarif resiprokal AS meluas dari 44 negara menjadi 70 negara, dengan tarif kepada sebagian negara seperti India dan Swiss lebih tinggi dari pengumuman semula.
Implementasi tarif resiprokal AS tersebut menimbulkan risiko akan semakin melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sekitar 3,0%.