Liputan6.com, Jakarta - Sejak awal 2025, Bank Indonesia (BI) sudah memangkas suku bunga acuan empat kali hingga ke level 5%. Namun, penurunan ini belum serta-merta diikuti oleh industri perbankan dalam bentuk turunnya bunga kredit.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menilai terdapat beberapa alasan utama yang membuat transmisi kebijakan moneter ini berjalan lambat.
Pertama, faktor biaya dana (cost of fund). Meskipun BI sudah menurunkan suku bunga acuan, suku bunga simpanan masyarakat terutama deposito tidak serta-merta ikut turun dengan cepat.
"Bank harus tetap menjaga daya tarik simpanan agar likuiditasnya stabil," ujar Josua kepada Liputan6.com, Jumat (22/8/2025).
Apalagi di tengah persaingan ketat dengan instrumen pasar uang BI maupun obligasi pemerintah, bank harus menawarkan imbal hasil cukup kompetitif untuk mempertahankan dana pihak ketiga. Menurut Josua, jika bunga simpanan belum turun signifikan, otomatis ruang bank untuk menurunkan bunga kredit pun terbatas.
Kedua, permintaan kredit yang belum pulih sepenuhnya. Data menunjukkan pertumbuhan kredit per Juli 2025 hanya sekitar 7% yoy, di bawah target BI 8 % hingga 11%.
Kredit Modal Kerja
"Dunia usaha cenderung masih hati-hati, bahkan banyak korporasi memilih menggunakan dana internal ketimbang berutang ke bank," ujarnya.
Di sisi lain, kredit modal kerja dan konsumsi tumbuh rendah, sementara kredit investasi lebih tinggi karena proyek belanja modal, namun itu pun terbatas pada sektor tertentu. Dengan permintaan yang lemah, bank tidak punya urgensi besar untuk menurunkan bunga secara agresif demi menarik debitur.
Faktor Lainnya
Selanjutnya, Josua menyampaikan, faktor ketiga adalah faktor risiko ekonomi. Meskipun ekonomi nasional tumbuh di atas 5%, perbankan menilai risiko ke depan tetap besar.
Pola Historis Transmisi Suku Bunga di Indonesia
Dari global, perang tarif AS, gejolak geopolitik, dan arah kebijakan The Fed bisa memicu volatilitas rupiah. Sementara dari domestik, daya beli kelas menengah bawah masih lemah, sehingga risiko kredit macet di segmen UMKM dan konsumen tetap diperhitungkan.
"Kondisi ini mendorong bank bersikap konservatif yakni lebih baik menjaga margin bunga (NIM) dan kualitas aset daripada agresif menurunkan bunga kredit," ujarnya.
Keempat, pola historis transmisi bunga di Indonesia memang lambat. Ketika BI menaikkan bunga pada 2022–2023, bank hanya menaikkan bunga kredit sekitar 30 bps, jauh lebih kecil dari kenaikan BI Rate 225 bps.
"Artinya, bank cenderung menyerap sebagian beban saat suku bunga naik, sehingga ketika suku bunga turun, penyesuaian juga dilakukan bertahap agar keseimbangan margin tetap terjaga," ujarnya.
Ada Pertimbangan Struktural
Dengan demikian, dapat disimpulkan lambatnya penurunan bunga kredit perbankan saat ini bukan berarti bank tidak merespon penurunan suku bunga kebijakan BI.
Melainkan, ada pertimbangan struktural yakni menjaga likuiditas, mengantisipasi risiko global-domestik, serta memastikan kesehatan neraca keuangan.
"Ke depan, tekanan untuk menurunkan bunga kredit memang akan semakin besar seiring dorongan BI dan pemerintah, ditambah perlambatan pertumbuhan kredit yang makin tajam. Namun penurunannya kemungkinan tetap berlangsung bertahap, bukan drastis, mengikuti dinamika ekonomi dan stabilitas pasar," pungkasnya.