Liputan6.com, Jakarta Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, mengingatkan potensi masalah dari kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang akan menarik dana Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke perbankan. Menurutnya, bila penyaluran kredit tidak berjalan lancar, dana jumbo tersebut berisiko hanya mengendap di rekening bank.
Ia menjelaskan, kondisi LDR yang rendah berarti bank memiliki dana besar, tetapi tidak mampu menyalurkannya sebagai kredit. Hal ini mencerminkan lemahnya permintaan pinjaman dari dunia usaha maupun masyarakat.
"Bagaimana jika sudah diguyur namun sulit menyalurkan? Ya akan jadi dana mengendap dan kinerja perbankan akan memburuk. LDR akan mengecil membuat kinerja perusahaan akan memburuk secara laporan," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Jumat (12/9/2025).
Situasi ini tidak hanya menekan laporan kinerja bank, tapi juga bisa menurunkan kepercayaan pasar terhadap efektivitas kebijakan fiskal dan moneter pemerintah.
Menurut Huda, perbankan cenderung mencari cara yang lebih aman jika dana Rp200 triliun sulit disalurkan ke sektor riil. Salah satu jalan yang mungkin ditempuh adalah menempatkan dana tersebut dalam bentuk investasi.
"Maka bagi perbankan, akan lebih mudah ditempatkan ke investasi. Ingat, ada Danantara yang bisa melakukan hal tersebut." ujarnya.
Berpotensi Dorong Inflasi
Disisi lain, Nailul menilai akan timbul juga kecurigaan terkait dengan “siapa” yang akan menerima kucuran dana tersebur. Pelaku UMKM, pertumbuhannya hanya 1,82 persen sedangkan korporasi tumbuh hingga 9,59 persen.
Kemudian, ada juga kebutuhan untuk mendukung pembiayaan program pemerintah seperti koperasi merah putih dan MBG. Dengan demikian, nampaknya memang ada “pesanan” untuk menarik uang tersebut dari Bank Indonesia.
"Apakah ada dampaknya? Tentu ada ketika guyuran uang ini tidak terserap, maka bisa terjadi inflasi. Ketika perputaran ekonomi masih lambat, namun guyuran uang dilakukan, maka yang terjadi bukan ke ekonomi, tapi inflasi," ujarnya.
Penyaluran Kredit Melambat
Lebih lanjut, Nailul Huda menjelaskan, kita tahu meskipun BI telah menurunkan suku bunga acuan dari 6% di akhir 2024 menjadi 5%, penyaluran kredit masih melambat.
Pertumbuhan kredit bahkan hanya sekitar 6%, jauh di bawah yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa dunia usaha maupun masyarakat belum agresif mengambil pinjaman meski bunga kredit turun.
"Kita tahu bahwa BI telah menurunkan suku bunga acuan dari sekitar 6 persen (akhir tahun 2024) menjadi 5 persen. Namun pertumbuhan kredit terus menurun, bahkan hanya sekitar 6 persen saja. Artinya memang meskipun diturunkan, permintaan masih cukup rendah. Jadi masalahnya ada di sisi demand-nya dibandingkan dengan supply," pungkasnya.