Apakah RAPBN 2026 Pro-Rakyat? Ini Jawabannya

8 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior Indef Aviliani menilai Rancangan Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 masih terlalu berfokus pada program populis ketimbang menjawab persoalan struktural masyarakat.

Menurutnya, berbagai program bantuan sosial yang disiapkan memang menyentuh lapisan terbawah, tetapi tidak banyak membantu kelompok menengah bawah yang saat ini justru paling tertekan secara ekonomi.

"Kalau kita melihat dari RAPBN, terlihat sekali bahwa untuk sosial atau program populisnya sangat banyak ya. Itu biasanya menyentuhnya hanya di bawah saja," kata Aviliani dalam Diskusi Publik INDEF: Menakar RAPBN 2026, ditulis Jumat (5/9/2025).

Aviliani menilai, situasi ini membuat kelompok menengah bawah harus mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup. Fenomena “mantab” atau makan tabungan kini menjadi realitas sehari-hari di banyak rumah tangga. Jika kondisi ini tidak segera ditangani, daya beli akan terus melemah.

"Mereka tidak tersentuh BLT, mereka tidak tersentuh dengan BPJS yang dibayarkan oleh pemerintah, tapi mereka biasa cenderung bayar BPJS sendiri. Mereka sedang menghadapi penurunan pendapatan yang akhirnya orang katakan mantab atau makan tabungan," ujarnya.

Aviliani menekankan, program populis yang hanya fokus pada pencitraan jangka pendek tidak cukup untuk menyelesaikan masalah kesenjangan ekonomi. RAPBN harus diarahkan pada kebijakan yang lebih berkeadilan dan menjangkau kelompok rentan di menengah bawah.

Kelas Menengah Bawah Jadi Prioritas

Menurut Aviliani, kebijakan ekonomi pemerintah perlu bergeser ke arah keberpihakan pada kelas menengah bawah. Mereka bukan hanya tidak mendapat bantuan, tetapi juga harus menghadapi biaya hidup yang semakin tinggi. Tanpa perlindungan kebijakan, kelompok ini berpotensi jatuh ke dalam jurang kemiskinan.

Ia mencontohkan, pekerja formal relatif lebih aman karena mendapat jaminan sosial, sedangkan masyarakat miskin masih ditopang dengan berbagai subsidi. Sebaliknya, sektor informal dan UMKM yang mayoritas diisi kelas menengah bawah justru kurang tersentuh.

"Mereka itu justru yang sudah mendapat pekerjaan. Mereka sudah, paling tidak, mereka sudah mendapatkan BPJS juga. Tapi di luar itu yang sektor informal, bukan berarti informal menjadi formal, bukan. Tapi bagaimana sektor informal juga punya pendapatan dan mereka itu paling banyak di sektor UMKM sebenarnya," ujarnya.

RAPBN Harus Jadi Instrumen Pemulihan Daya Beli

Lebih lanjut, Aviliani menegaskan, kunci untuk meredakan ketidakpuasan publik dan menjaga stabilitas sosial ada pada pemulihan daya beli. Demonstrasi yang sempat merebak, menurutnya, tak bisa dilepaskan dari melemahnya kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar.

"Kalau kita melihat sekarang sudah mulai mereda berbagai demonstrasi-demonstrasi, maka sebenarnya pemerintah sudah mulai harus menyadari, juga DPR, bahwa akar masalah yang saat ini harus diselesaikan jangka pendek dan tidak bisa ditawar-tawar adalah bagaimana daya beli masyarakat ini bisa kembali normal," ujarnya.

Ia mendorong agar RAPBN 2026 tidak hanya dipandang sebagai dokumen politik, melainkan sebagai instrumen nyata pemulihan daya beli. Caranya bisa melalui dukungan pada UMKM, penguatan sektor informal, hingga skema program yang tepat sasaran.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |