Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyatakan subsidi gas industri dalam program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) membawa dampak luas terhadap peningkatan investasi, kapasitas produksi, kontribusi pajak, dan serapan tenaga kerja sektor keramik sejak kebijakan tersebut diberlakukan pada 2020.
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan, sejak tahun 2020 hingga 2024 kontribusi Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPh) industri keramik domestik tumbuh 50 persen dari semula Rp1,7 triliun menjadi Rp2,65 triliun.
Selanjutnya total serapan tenaga kerja baru mencapai 16 ribu orang, kapasitas produksi keramik tumbuh hingga 160 juta meter persegi, dan total investasi kapasitas baru mencapai Rp160 triliun yang menjadikan Indonesia sebagai empat besar produsen keramik global.
Oleh karena itu, saat ini pihaknya menyayangkan kondisi gangguan suplai gas dan pembatasan kuota penggunaan HGBT, serta mahalnya harga surcharge gas regasifikasi Liquefied Natural Gas (LNG).
“Dua industri tableware di Tangerang terpaksa merumahkan sekitar 700 karyawannya,” ucapnya dikutip dari Antara, Selasa (19/8/2025).
Dikatakan dia, Asaki mengharapkan kehadiran Pemerintah untuk mencarikan solusi segera berkaitan gangguan suplai gas supaya tidak semakin banyak industri yang merumahkan karyawan dengan potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kepastian Hukum
Di samping itu Pemerintah perlu memberikan kepastian hukum dan menjaga iklim berinvestasi yang baik di Indonesia khususnya bagi industri keramik yang sedang melakukan ekspansi kapasitas.
Selain itu, menurut dia, kebijakan pendukung berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), serta SNI Wajib untuk keramik sebelumnya telah menjadi katalis positif dan memberikan optimisme bagi industri keramik nasional yang terganggu oleh gangguan suplai gas.
Dirinya juga menyatakan tahapan ekspansi pabrik keramik yang direncanakan selesai pada awal tahun 2027 senilai Rp8 triliun untuk tambahan produksi 90 juta meter persegi dengan penambahan sekitar 6 ribu karyawan terancam batal akibat gangguan suplai HGBT.
Pasokan Gas Terbatas, Kemenperin Gerak Cepat Bantu Pengguna HGBT
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) segera menanggapi keresahan industri pengguna Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) akibat pembatasan pasokan dari produsen gas. Untuk itu, Kemenperin membentuk “Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT” sebagai saluran resmi menerima laporan, keluhan, dan masukan dari pelaku industri terkait gangguan pasokan gas.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menilai pembatasan pasokan hingga 48 persen janggal.
“Menurut kami, hal ini janggal karena pasokan gas untuk harga normal, harga di atas USD 15 per MMBTU stabil. Tapi mengapa pasokan untuk HGBT yang berharga USD 6,5 per MMBTU dibatasi? Itu artinya tidak ada masalah dalam produksi dan pasokan gas dari industri hulu gas nasional,” ujar Febri di Jakarta, Senin (18/8).
Febri menekankan, produsen gas sebaiknya tidak membangun narasi pembatasan pasokan hanya untuk mendorong kenaikan harga gas.
“Kami tidak ingin kejadian yang terulang kembali pada industri dalam negeri, dengan kebijakan relaksasi impor yang mengakibatkan turunnya utilisasi produksi, penutupan industri, dan pengurangan tenaga kerja pada industri TPT dan alas kaki,” jelasnya.
Jeritan Pelaku Industri
Pusat Krisis ini dibentuk menyusul laporan industri mengenai pembatasan pasokan, tekanan gas menurun, serta harga gas yang dibebankan di atas ketentuan Perpres Nomor 121 Tahun 2020. Media pengaduan ini diharapkan memberi rasa aman bagi investasi manufaktur di dalam negeri, khususnya tujuh subsektor penerima HGBT: pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.
“Kami mendengar langsung jeritan pelaku industri. Dalam situasi seperti ini, Kemenperin tidak boleh tinggal diam. Kami harus melindungi investor yang sudah membangun fasilitas produksi dan 130 ribu pekerja yang bekerja pada industri tersebut,” terang Febri.
Pusat Krisis bertugas menampung keluhan, memverifikasi kondisi lapangan, menjadi jalur komunikasi cepat antara industri dan pemerintah, serta mengawal keberlanjutan industri pengguna gas.
Febri menjabarkan tiga tujuan utama Pusat Krisis:
- Menerima pengaduan secara langsung dan terstruktur
- Menjadikan laporan sebagai bahan kebijakan, dan
- Menjadi bentuk akuntabilitas publik Kemenperin.