Liputan6.com, Jakarta Penasehat Center for Sharia Economic Development, Institute for Development of Economics and Finance (CSED-INDEF) Murniati Mukhlisin menegaskan bahwa ke depan pengelolaan ibadah haji tidak bisa main-main. Karut marut penyelenggaraan haji seperti tahun lalu dan tahun ini, tidak boleh terjadi lagi.
“Penyelenggaraan ibadah haji tahun depan, tahun 2026, tidak bisa lagi main-main, tidak bisa lagi bercanda. Pemerintah, apalagi sekarang sudah terbentuk Badan Penyelenggara Haji, harus benar-benar serius. Jika hal ini tetap dilakukan, dampaknya bisa-bisa kuota haji Indonesia akan dikurangi oleh Pemerintah Arab Saudi,” ujarnya, Selasa (19/8/2025).
Dia menjelaskan, dana haji dan umrah yang dikelola Indonesia memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan ekonomi umat. Namun, sejumlah tantangan struktural dan kelembagaan dinilai masih menghambat optimalisasi dana yang kini mencapai Rp 188,86 triliun.
Saat ini, ada sekitar 4,2 juta pekerja sektor haji dan umrah, termasuk travel, katering, logistik, hingga UMKM, sangat bergantung pada tata kelola dana ini. Namun, investasi dana haji masih didominasi sektor konservatif, seperti deposito syariah, dengan imbalhasil yang relatif rendah.
Pada saat yang sama, Indonesia menghadapi defisit pembiayaan operasional penyelenggaraan haji yang pada 2024 tercatat Rp 7,5 triliun.
CSED-INDEF menyoroti lemahnya koordinasi kelembagaan akibat tumpang tindih peran antara Kementerian Agama, BPKH, dan operator haji. Selain itu, belum adanya roadmapnasional haji dan umrah hingga 2045 juga dinilai membuat arah pengelolaan dana danpelayanan haji tidak terintegrasi.
“Kami merekomendasikan agar pemerintah segera membentuk lembaga setingkat kementerian yang mengintegrasikan kebijakan regulasi, pelayanan, dan pengelolaan dana haji. Selain itu, investasi dana haji perlu diarahkan ke sektor riil yang berdampak tinggi, seperti real estat halal, rumah sakit syariah, dan energi bersih,” tutur dia.
Penetapan Kuota Haji
Sementara terkait dengan penetapan kuota, kata Murniati, bahwa tergantung pada kepiawaian pemerintah di dalam bernegosiasi dengan pemerintah Arab Saudi. Dengan dibatalkannya kuota haji Furoda bagi Jemaah Indonesia bisa dibilang sebagai kegagalan pemerintah.
“Kuncinya memang terletak pada kemampuan negosiasi, terutama untuk haji dan umrahnya harus lebih kuat. Dengan adanya BP Haji, ada harapan besar bahwa tingkat negosiasi haji dan umrah akan menjadi lebih baik lagi,” ujarnya.
Di sisi lain, selain pengawasan kuota haji, Murniati juga menyoroti tentang langkah pemerintah terutama dalam penguatan tata kelola dana haji dan umrah. Ini penting karena menuntut peningkatan akuntabilitas publik.
“Selama ini, informasi yang diberikan kepada publik bersifat terbatas dan teknokratik, sulit dipahami oleh masyarakat awam. Padahal dana haji bukan milik negara ataupun lembaga, melainkan milik jutaan rakyat Muslim yang mempercayakan pengelolaannya dengan penuh harap dan iman. Keterbukaan informasi menjadi pilar penting dalam membangun kepercayaan dan legitimasi,” ujarnya.
Mengupas Peran Pemerintah-Swasta dalam Mekanisme Kuota dan Biaya Haji 2025
Sebelumnya, menunaikan ibadah haji menjadi salah satu dari rukun Islam, sehingga umat muslim di seluruh dunia memiliki angan untuk datang ke kota suci Makkah dan mencium Hajar Aswad di sisi tenggara Ka'bah.
Bagi warga Indonesia yang ingin menunaikan kewajiban ini, pemerintah memberikan pilihan dua jalur perjalanan, yakni jalur reguler dan khusus. Reguler merupakan jalur bagi jemaah yang ingin mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Sedangkan jalur khusus, atau juga dikenal dengan haji plus, menggunakan biaya pribadi dan terselenggara berkatbantuan pihak swasta seperti agen travel umroh dan haji.
"Swasta bukan hanya membantu, tetapi kewenangan haji plus itu memang ada diswasta," jelas Bendahara Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Abdul Wahid dikutip Minggu (17/8/2025).
Untuk menentukan kuota jalur pemberangkatan haji tersebut, Pemerintah Indonesia akan mengikuti jatah yang diberikan Pemerintah Arab Saudi. Pada penyelenggaraan ibadah haji di 2025, Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud memberikan kuota 221.000 jemaah kepada Indonesia.
Pemerintah, melalui Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, mengatur pembagian kuota tersebut menjadi 92% untuk jalur reguler dan 8% sisanya untuk Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Setelah melalui pembahasan di Komisi 8 DPR RI, pada 7 Januari 2025, pemerintah dan DPR sepakat untuk memberikan kuota 203.320 untuk jemaah reguler, dan 17.680 kuota jemaah haji khusus.
Untuk penyelenggaraan haji pada 2025, besaran BPIH Penyelenggaraan Haji secara keseluruhan ditetapkan sebesar Rp89.410.258,79. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar Rp4.000.027,21 dibandingkan dengan BPIH di 2024 yang mencapai Rp93.410.286. Akan tetapi, biaya haji yang harus dibayarkan oleh jemaah disepakati sebesar Rp55.431.750,78.
"Kalau reguler sisa biaya di luar yang telah disepakati itu disubsidi oleh pemerintah. Penyelenggaraannya pakai APBN," ungkap Wahid.
Penetapan Biaya Haji dan Kuota Jemaah
Penetapan biaya haji dan kuota jemaah ini dilakukan untuk dapat memberikan kepastian bagi calon jemaah haji dalam mempersiapkan keberangkatan mereka ke Tanah Suci.
Selain kuota yang sudah ditetapkan tersebut, pada kondisi tertentu pemerintah bisamendapatkan tambahan kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi, melalui proses diplomasisebagai wujud hubungan persahabatan di antara kedua negara. "Ini seperti yang terjadipada 2024, dimana Pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan kuota 20.000 jemaah kepada Indonesia," jelas Wahid.
Menurut Wahid, penentuan kuota tambahan ini seringkali tidak dapat dibahas lagi dengan Komisi 8 DPR, karena pemberiannya dari Raja Saudi terkadang setelah selesai pembahasan antara Pemerintah dan Komisi 8 DPR.
"Misalnya pada 2024 itu pemerintah memutuskannya, pakai keputusan menteri," kata Wahid.
Menurut Wahid, keterlibatan swasta pada penyelenggaraan haji melalui agen travel sangat membantu jemaah. Sebab, meski kuota haji reguler memiliki porsi yang lebih besar, tetapi antrean jemaah untuk berangkat ke Tanah Suci masih panjang.