10 Perumahan Paling Murah di Dunia, Ada Indonesia?

3 weeks ago 21

Liputan6.com, Jakarta Riset terbaru menunjukkan, 95 pasar perumahan besar dunia kini melampaui jangkauan daya beli masyarakat, dilansir dari CNBC pada Senin, (18/8/2025).

Temuan itu diungkap dalam studi Mei 2024 oleh Chapman University Center for Demographics and Policy, yang membandingkan rata-rata harga rumah dengan pendapatan rata-rata di 95 pasar perumahan pada kuartal ketiga 2024.

Menurut kriteria, pasar dapat dikatakan terjangkau bila harga rumah rata-rata tidak lebih dari tiga kali lipat pendapatan tahunan rata-rata di wilayah tersebut. Hasilnya, tak satu pun dari pasar yang diteliti masuk kategori terjangkau. Bahkan, 12 pasar perumahan diklasifikasikan sebagai mustahil terjangkau.

Pasar yang dinilai paling terjangkau ada di Pittsburgh, Pennsylvania, dengan rasio harga rumah terhadap pendapatan 3,2 kali lebih besar. Meski demikian, studi tetap menempatkannya dalam kategori moderately unaffordable, atau cukup tidak terjangkau.

Secara internasional, Edmonton di Kanada serta Sheffield, Middlesbrough, dan Durham di Inggris juga masuk 10 besar pasar paling terjangkau.

Berikut daftar 10 pasar perumahan yang dinilai paling terjangkau beserta dengan rasio harga rumah terhadap pendapatan.

  1. Pittsburgh (AS): 3,2
  2. Cleveland  (AS): 3,3
  3. St. Louis (AS): 3,5
  4. Rochester, New York: 3,6
  5. Edmonton, Kanada: 3,7
  6. Middlesbrough & Durham, Inggris: 3,7
  7. Oklahoma City (AS): 3,7
  8. Omaha, Nebraska (AS): 3,7
  9. Sheffield, Inggris: 3,8
  10. Cincinnati & Detroit (AS): 3,9

Harga Rumah AS Sentuh Rekor

Di Amerika Serikat, harga rumah kian melambung. Menurut data National Association of Realtors (NAR), harga rata-rata rumah yang sudah ada mencapai rekor baru USD 435.300 pada Juni 2024. Angka ini naik 2 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya, sekaligus mencatat kenaikan tahunan selama 24 bulan berturut-turut.

Namun, keterjangkauan menjadi masalah serius. Analisis NAR bersama Realtor.com menyebutkan, jika harga rumah mencerminkan kemampuan daya beli, rumah tangga dengan pendapatan USD 75.000 per tahun seharusnya bisa mengakses 48,1 persen dari total rumah yang tersedia.

Faktanya, hingga Mei 2025, kelompok berpendapatan tersebut hanya mampu menjangkau 21,2 persen rumah, atau sekitar seperlima dari total rumah. Sebaliknya, mereka yang berpenghasilan USD 250.000 atau lebih bisa membeli setidaknya 80 persen rumah yang ada.

“Bagi banyak pembeli rumah pertama, menjelajahi pasar perumahan saat ini masih terasa seperti hanya sekadar melihat-lihat etalase. Harga rumah yang terdaftar tidak sesuai dengan anggaran pembeli pemula,” ujar Nadia Evangelou, Direktur Riset Real Estat di NAR.

Penjualan Rumah Merosot, Ini Sederet Biang Keroknya

Sementara di Indonesia, kinerja sektor properti residensial menunjukkan tren perlambatan pada triwulan II 2025. Data dari Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia mencatat penjualan rumah di pasar primer turun 3,80% (yoy).

"Penjualan properti residensial terkontraksi sebesar 3,80% (yoy), setelah tumbuh sebesar 0,73% (yoy) pada triwulan I 2025. Perkembangan ini dipengaruhi oleh penjualan rumah tipe kecil yang tumbuh 6,70% (yoy), melambat dari 23,75% (yoy) pada triwulan sebelumnya," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso, dalam laporan SUrvei Harga Properti Residensial Bank Indonesia, Jumat (8/8/2025).

Bank Indonesia mencatat lima penghambat utama yang terus membayangi pertumbuhan sektor properti residensial. Masalah pertama adalah kenaikan harga bahan bangunan yang disebut oleh 19,97% responden survei. Harga material seperti semen, baja ringan, dan bahan baku lainnya kian memberatkan biaya konstruksi.

Masalah kedua datang dari sisi perizinan dan birokrasi. Sebanyak 15,13% responden menyatakan bahwa proses administrasi pembangunan masih lambat dan menyulitkan, terutama di daerah. Ini berdampak langsung pada kecepatan realisasi proyek dan daya saing pengembang.

Faktor Lain

Faktor ketiga dan keempat adalah suku bunga KPR yang masih relatif tinggi (15,00%) dan proporsi uang muka yang berat bagi konsumen (11,38%). Kondisi ini membuat banyak calon pembeli menunda keputusan untuk membeli rumah, terutama di kalangan milenial dan keluarga muda.

Sementara itu, faktor kelima adalah perpajakan, yang masih dianggap membebani oleh 8,66% responden. Beban pajak yang tinggi baik untuk pembeli maupun pengembang menjadi salah satu alasan mengapa harga rumah sulit ditekan, dan pasar tidak tumbuh agresif.

"Berdasarkan hasil survei, penghambat utama pengembangan dan penjualan properti residensial primer meliputi kenaikan harga bahan bangunan (19,97%), masalah perizinan/birokrasi (15,13%), suku bunga KPR (15,00%), proporsi uang muka yang tinggi dalam pengajuan KPR (11,38%), dan perpajakan (8,66%)," ujarnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |