Liputan6.com, Jakarta - Data terbaru yang dirilis oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatik) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkapkan situasi ketenagakerjaan di Indonesia pada Juli 2025. Berdasarkan laporan tersebut, tercatat sebanyak 1.118 tenaga kerja di seluruh provinsi yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Dikutip dari data Pusdatik Kemnaker, Jumat (22/8/2025), dari total tersebut, Provinsi Jawa Barat mendominasi angka PHK dengan jumlah tertinggi. Tercatat ada 325 pekerja yang terdampak di provinsi yang dikenal sebagai salah satu pusat industri terbesar di Indonesia ini.
Menyusul di posisi kedua adalah Provinsi Banten dengan 144 pekerja yang terkena PHK. Kemudian, Kalimantan Timur berada di peringkat ketiga dengan 114 pekerja yang terdampak. Provinsi Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta juga masuk dalam lima besar dengan masing-masing 97 dan 85 kasus PHK.
Data ini menunjukkan bahwa PHK terkonsentrasi di beberapa provinsi yang memiliki sektor industri atau ekonomi yang padat karya. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan dinamika pasar kerja yang bervariasi di setiap wilayah di Indonesia, dipengaruhi oleh kondisi ekonomi lokal dan sektor industri yang dominan.
2 Juta Buruh Manufaktur Kena PHK, Ini Biang Keroknya
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan kebijakan relaksasi impor yang sempat diterapkan pemerintah membawa konsekuensi besar terhadap industri dalam negeri, khususnya sektor manufaktur.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menyebut sebanyak dua juta buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kebijakan tersebut.
"Kami dari Kementerian Perindustrian tidak menafikkan bahwa PHK masih terjadi pada industri manufaktur," kata Febri saat ditemui di Kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Ia menegaskan pihak kementerian tidak menyangkal adanya lonjakan PHK di sektor industri padat karya.
"PHK yang terjadi saat ini, itu disebabkan karena risiko dari kebijakan relaksasi impor yang saat ini masih dirasakan dampaknya oleh industri padat karya," ujarnya.
Menurut data Kemenperin, periode Agustus 2024 hingga Februari 2025 menjadi masa paling berat, dengan sekitar dua juta pekerja manufaktur kehilangan pekerjaan. Hal ini menunjukkan skala dampak kebijakan impor yang tak bisa dianggap sepele.
"Kami sekali lagi menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena ekses dari kebijakan relaksasi impor yang membuat pasar domestik banjir produk impor murah," ungkap Febri.
Revisi Regulasi
Febri mengatakan meski revisi regulasi tengah disiapkan, tantangan yang dihadapi industri manufaktur belum akan reda dalam waktu dekat.
Febri memperkirakan tren PHK masih akan berlanjut hingga peraturan baru benar-benar efektif diterapkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa transisi dari kebijakan lama ke kebijakan baru tidak serta-merta menyelesaikan persoalan.
"Sehingga menekan demand industri, terutama industri padat karya yang pada akhirnya memicu terjadinya pengurangan kerja. Dan kalau lihat angka tadi hampir sekitar 2 juta itu risiko yang kita tanggung dari pengurangan kebijakan relaksasi impor," ujarnya.