UMKM Masih Terkendala Administrasi Keuangan, Kredit Jadi Sulit Mengucur

2 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Tantangan klasik yang dihadapi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia kembali mencuat dalam sesi panel talk peluncuran Futuremaker Innofund Programme 2025. Meski sektor ini memiliki peran vital dalam menyerap tenaga kerja dan menopang perekonomian nasional, banyak pelaku usaha masih terbentur pada persoalan mendasar, yakni kelengkapan pencatatan keuangan.

Minimnya literasi finansial membuat sebagian besar UMKM tidak memiliki laporan keuangan yang terstruktur dengan baik, bahkan format sederhana seperti arus kas harian atau bulanan pun seringkali belum disusun secara sistematis. Kondisi ini berimbas langsung pada kesulitan mereka dalam mengakses pendanaan eksternal, sebab lembaga keuangan membutuhkan data akurat yang terdokumentasi untuk menilai kelayakan kredit.

Akibatnya, meski memiliki produk yang potensial, banyak UMKM terhambat untuk berkembang. Inilah yang kemudian menegaskan pentingnya edukasi keuangan agar UMKM dapat naik kelas dan memperoleh akses permodalan yang lebih luas.

Adityo Putranto, SVP of Embedded Lending Business Amartha, menjelaskan bahwa permasalahan administrasi keuangan menjadi faktor utama yang membuat UMKM sulit mendapatkan penilaian kredit yang baik.

Menurutnya, banyak UMKM yang bahkan belum memiliki pencatatan arus kas sederhana. Hal ini menyebabkan lembaga keuangan kesulitan melakukan asesmen, sehingga peluang mereka untuk memperoleh pinjaman formal menjadi terbatas.

“Banyak dari UMKM yang belum mendokumentasikan policy keuangan usaha dengan proper. Simple cashflow bahkan belum dimiliki oleh banyak UMKM kita. Itu yang sering jadi kendala saat assessment credit,” ungkapnya, Rabu (17/9/2025).

Kesenjangan Informasi

Meskipun pelaku UMKM di perkotaan sudah menghadapi berbagai tantangan dalam pengembangan usaha, hambatan yang dialami oleh pelaku UMKM di daerah justru lebih kompleks dan berlapis. Hal ini diungkapkan Utami, Co-founder Rumah Mokaf, produsen pangan berbasis singkong dari Banjarnegara.

Ia menjelaskan, pelaku usaha di daerah bukan hanya menghadapi keterbatasan infrastruktur distribusi, tetapi juga kesenjangan informasi. Akses terhadap program pendanaan seringkali minim, bahkan tersendat oleh faktor bahasa dan pemahaman dasar tentang mekanisme pinjaman atau investasi.

“Informasi-informasi seperti ini seringkali tidak didapatkan oleh teman-teman di daerah. Apalagi ketika bahasa yang digunakan itu bahasa internasional seperti bahasa Inggris, orang itu liat udah takut duluan,” jelasnya.

Utami menambahkan, kesiapan untuk memperoleh pendanaan eksternal menuntut usaha lebih, mulai dari merapikan pencatatan keuangan, menyusun rencana bisnis yang jelas, hingga memperkirakan kemampuan keuangan untuk membayar kembali pinjaman.

Sentimen Negatif Terkait Utang

Panel talk juga menyinggung stigma negatif terkait pinjaman yang masih melekat di masyarakat. Banyak pelaku UMKM ragu mengajukan pinjaman karena khawatir terjebak pada praktik tidak sehat, seperti pinjaman online ilegal dengan bunga tinggi dan metode penagihan kasar.

Namun, Utami menegaskan bahwa hutang bukanlah hal yang tabu, selama digunakan secara produktif.

“Hutang itu bukan suatu aib sebenarnya. Perusahaan besar pun banyak yang mengajukan loan karena sudah memperhitungkan kemampuan keuangannya. Yang penting, pinjaman digunakan untuk kegiatan produktif, seperti memperbesar kapasitas produksi atau memperluas marketing, bukan untuk hal konsumtif,” tegasnya.

Ia juga menambahkan disiplin menyisihkan 30-40% pendapatan bersih untuk cicilan adalah langkah penting agar pinjaman tidak menjadi beban, melainkan pendorong pertumbuhan.

Hal senada disampaikan Adityo. Ia menyoroti kecenderungan pelaku usaha mencampuradukkan keuangan pribadi dengan bisnis, yang membuat penggunaan pinjaman jadi tidak terkontrol.

“Kalau saran dari kami, sebisa mungkin dipisahkan dari awal. Kalau memang ada porsi untuk kebutuhan pribadi, tetapkan sekian persen di awal. Jadi terbiasakan dan nggak tau-tau habis terpakai semua,” ujarnya.

Peran Program Sebagai Jembatan

Head of Corporate Affairs, Brand and Marketing Bank Standard Chartered Indonesia Puni Ayu Anjungsari, menekankan pentingnya program pendampingan seperti Futuremaker Innofund sebagai jembatan bagi UMKM untuk naik kelas.

“Melalui revolving loan atau pinjam bergulir, mereka jadi punya pengalaman dalam mengelola keuangan yang baik seperti apa. Dari pengalaman ini, teman-teman bisa belajar merapikan pencatatan hingga menghadapi tantangan logistik,” ujarnya.

Menurut Puni, pengalaman nyata dari program ini membantu UMKM tidak hanya memahami teori, tetapi juga mengasah keterampilan praktis dalam pengelolaan keuangan.

Tidak hanya peserta yang lolos, pelaku usaha yang belum berkesempatan mengikuti batch pertama juga melihat nilai besar dari program ini. Rully, salah satu pelaku UMKM yang berniat mengikuti gelombang berikutnya, menilai edukasi literasi keuangan yang diberikan sangat penting.

“Kayaknya akan ikut batch selanjutnya. Karena pertama itu tadi tuh, ilmu literasi keuangannya itu penting. Jadi kan selain dikasih loannya kita juga diedukasi gimana caranya biar ada perputaran. Kalau kita asal minjem di bank udah pasti dilepas gitu aja. Sedangkan dalam masa ini kan kita harus dikasih tahu, diedukasi, gimana sih pencatatan keuangannya biar lebih rapi dan akses loan lebih mudah,” ungkapnya.

Dengan hadirnya diskusi dalam panel talk Futuremaker Innofund 2025, jelas terlihat bahwa literasi keuangan, kesiapan administrasi, dan pengelolaan hutang produktif menjadi kunci penting agar UMKM mampu naik kelas. Program ini pun diharapkan dapat menjadi katalis yang memperkuat akses permodalan dan memperbaiki mindset finansial pelaku usaha di Indonesia.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |