Liputan6.com, Jakarta - Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti pencabutan tunjangan perumahan dan moratorium perjalanan luar negeri bagi anggota DPR.
Keputusan ini disambut publik sebagai sinyal awal adanya penyesuaian gaya hidup pejabat dengan kondisi fiskal negara. Take home pay wakil rakyat kini turun menjadi sekitar Rp 65,5 juta per bulan.
Namun, langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemangkasan tunjangan benar-benar menyentuh akar persoalan ketidakadilan atau hanya sekadar langkah simbolis untuk meredam kritik publik? Bagi masyarakat, inti masalahnya bukan hanya soal angka gaji, tetapi rasa keadilan dalam distribusi anggaran negara.
"Total take home pay menjadi Rp 65,5 juta. Apakah ini sudah menjawab kesenjangan yang dikeluhkan masyarakat? Pembenahan apa lagi yang diperlukan? Di sini, inti masalahnya bukan hanya angka, melainkan rasa keadilan dan relevansi kinerja," kata Achmad dalam keterangannya Minggu (7/9/2025).
Ia menyebut pencabutan tunjangan ibarat menutup dua keran paling mencolok di rumah yang kebanjiran. Air memang surut, ujarnya, tetapi lantai tetap basah. Analogi itu menekankan bahwa persoalan keuangan negara dan kesenjangan sosial jauh lebih dalam dibanding hanya sekadar fasilitas tambahan.
Dengan demikian, meski pemangkasan tunjangan bisa dipandang sebagai langkah positif, publik tetap menunggu langkah lanjutan yang lebih substansial.
Publik Pertanyakan Rasa Keadilan
Bagi masyarakat, gaji wakil rakyat tetap menjadi sorotan. Pendapatan sekitar Rp65,5 juta per bulan dianggap tidak sejalan dengan kondisi mayoritas rakyat yang masih berjuang menghadapi harga pangan tinggi, keterbatasan akses kesehatan, dan terbatasnya lapangan kerja.
Kesenjangan antara angka gaji DPR dan daya beli masyarakat memperkuat rasa ketidakadilan. Publik membandingkan jerih payah mereka sehari-hari dengan fasilitas yang masih dinikmati anggota dewan, meski sebagian telah dipangkas.
"Tunjangan beras dan beberapa fasilitas natura serupa sudah waktunya ditinjau ulang karena tak lagi sesuai konteks pejabat publik abad ke-21 yang penghasilannya cukup membeli kebutuhan dasar tanpa subsidi khusus," ujarnya.
Transparansi hingga Reformasi Anggaran
Jika benar ingin membangun kepercayaan publik, DPR perlu melangkah lebih jauh dari sekadar mengurangi tunjangan. Transparansi laporan kinerja, audit LHKPN secara acak, serta publikasi rapor tahunan anggota DPR bisa menjadi langkah konkret untuk memperkuat legitimasi.
"Diperlukan keterbukaan aset dan konflik kepentingan, yakni pelaporan LHKPN yang diaudit acak, penelusuran benturan kepentingan, serta publikasi rapor kinerja tahunan setiap anggota," ujarnya.
Selain itu, reformasi kontrak sosial antara rakyat dan wakilnya mendesak dilakukan. Publik dapat menerima penghasilan besar asalkan diimbangi dengan standar kerja berbasis target dan sanksi jelas bagi yang tidak memenuhi kewajiban. Tanpa kontrak sosial baru, gaji tinggi DPR akan terus menimbulkan kecemburuan sosial.