Tantangan Berlapis Guru Inklusi

1 week ago 7
Tantangan Berlapis Guru Inklusi (Ilustrasi) Debby Pietersz, seorang guru taman kanak-kanak yang telah mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak-anak, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus.(MI)

DI tengah pusat Kota Depok, Jawa Barat, berdiri sebuah sekolah kecil dengan pagar besi menguning penuh karat yang berderit berat tiap kali disorong. Sebatang pohon rambutan tua, rindang menaungi halaman berlapis paving block yang sudah tersingkap di sana-sini dan membuat beberapa anak usia empat hingga 12 tahun jatuh terjungkal berkali-kali.

Di dalam sekolah ini tersembunyi cerita hangat perjuangan dan dedikasi seorang perempuan bernama Debby Pietersz, seorang guru taman kanak-kanak yang telah mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak-anak, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus.

Dengan latar belakang gedung sekolah yang ringkih, Debby menyambut kedatangan para murid. Tergopoh-gopoh satu per satu menghampiri Debby yang berdiri di depan pintu masuk. Anak-anak bebas memberi sambutan selamat pagi; tos tangan, pelukan atau sekadar sapaan "hai miss" tak jadi soal.

Sosok Debby lumayan mencolok; selarik rambut putih di antara rambut hitam legam menjadi ciri khasnya. Gerakan perempuan 44 tahun itu cukup trengginas meski tubuhnya bisa dibilang gempal. Matanya ligat mengawasi setiap siswa di balik kaca mata bulatnya.

Di balik senyum lembutnya, ada jiwa yang membara pada perempuan keturunan Ambon-Belanda itu. Selama lebih dari satu dekade, ia berdiri teguh sebagai pendidik dari satu sekolah ke sekolah lain di seputaran Depok-Bogor termasuk Happy Holly Kids hingga Pribadi School.

Hatinya lantas jatuh pada SDS Eureka National Plus, sekolah inklusi dengan fasilitas yang jauh dari memadai. Sejak tahun 2011, Debby menjadi lebih dari sekadar guru; ia adalah pendamping, penggerak, dan terkadang, pelindung bagi anak-anak yang ia ajar.

Nasib SD-TK Eureka National Plus kerap berada di ujung tanduk. Berkali-kali, sekolah yang kini menjadi rumah kedua bagi 59 siswa inklusi yang terdiri dari siswa-siswi reguler dan berkebutuhan khusus ini diancam untuk ditutup oleh pemilik yayasan karena alasan keuangan yang terseok-seok menambal sulam kebutuhan operasional sekolah. Namun, Debby tak pernah menyerah.

"Sekolah ini bukan hanya tempat belajar. Ini rumah bagi anak-anak yang seringkali tidak diterima di tempat lain," ujarnya dengan nada tegas.

Keterbatasan

Mengajar di sekolah inklusi berarti menghadapi tantangan berlapis. Bukan saja anak-anak reguler dengan berbagai tingkahnya, namun banyak di antara murid Debby adalah anak-anak berkebutuhan khusus dengan rupa-rupa diagnosa, mulai dari autisme, speech delay, hingga disleksia, dengan berbagai tingkat kesulitan. Setiap hari, ada saja cerita riuh di kelas kecil tiga kali empat meter Debby.

"Kalau sudah ada yang tantrum, biasanya kegiatan belajar harus dihentikan sejenak untuk evakuasi anak tersebut. Sambil tetap didampingi, sang anak biasanya akan diajak menenangkan diri lalu teman-teman lain diberi pemahaman apa yang terjadi pada temannya itu," kata Debby sambil tersenyum simpul seolah kehebohan di kelasnya adalah sebuah hal menggemaskan.

"Mengajar itu harus pakai hati nurani, tahu bersabar, bisa menahan perilaku dan menahan emosi."

Di tengah keterbatasan fasilitas, Debby menciptakan metode inovatif agar semua muridnya dapat belajar dengan cara yang menyenangkan. "Untuk anak usia dini, saya lebih menekankan ke pendidikan karakter, saya ingin anak-anak punya jiwa penuh kasih dan damai seiring dengan kemampuan akademisnya yang meningkat."

Salah satu inovasi yang ia lakukan adalah membuat alat bantu belajar dari bahan-bahan sederhana seperti kardus bekas, kain flanel, dan botol plastik. Ia pernah membuat alat peraga berbentuk boneka tangan untuk membantu anak-anak autisme mengenali emosi dan berkomunikasi lebih baik. "Anak-anak belajar melalui sentuhan dan imajinasi. Dengan alat ini, mereka merasa dihargai, dan komunikasi jadi lebih mudah," jelas Debby.

Selain itu, ia juga memanfaatkan lagu-lagu sederhana yang ia reka-reka sendiri untuk mengajarkan konsep-konsep dasar seperti warna, angka, dan huruf. Lagu-lagu ini diiringi dengan gerakan tangan agar anak-anak dengan gangguan sensorik tetap terlibat. "Tidak semua anak bisa duduk diam dan mendengarkan. Dengan bernyanyi dan bergerak, mereka lebih termotivasi untuk belajar," katanya.

Dalam mengajar, Debby mengatakan yang paling penting adalah pertemuan pertama dengan calon siswa. "Screening itu penting untuk kemudian menentukan cara pendekatan yang efektif dengan siswa seperti apa. Setelah itu kita bangun rutinitas, aplikasikan disiplin positif dengan mengenalkan konsekuensi dari setiap tindakannya. Baik anak dengan kebutuhan khusus maupun reguler, keduanya sama-sama membutuhkan konsistensi itu."

Bukan hanya merangkul siswa, Debby juga aktif menjalin komunikasi dengan orang tua murid. Ia mengadakan pertemuan rutin untuk berbagi perkembangan anak-anak sekaligus memberi pelatihan sederhana kepada para orang tua tentang cara mendampingi anak berkebutuhan khusus di rumah. Baginya, pendidikan yang bermutu tidak hanya terjadi di kelas, tetapi harus melibatkan seluruh lingkungan anak.

Lusy, salah satu orang tua siswa berkebutuhan khusus yang ada di kelas Debby mengatakan dedikasi Debby tak ternilai harganya.

"Beliau adalah sosok yang selalu memberi saya dukungan, dia yang selalu meyakinkan saya bahwa anak saya tidak ada kekurangannya, padahal nyatanya anak saya didiagnosa medis autis ringan dan ada sedikit ADHD."

Hampir dua tahun anaknya dibimbing Debby, Lusy mengaku perkembangan anaknya cukup progresif. "Kemampuan sosialnya ber-progress luar biasa seiring kemampuan baca tulisnya," kata dia.

Dia berharap, pemerintah lebih banyak memperhatikan guru-guru penuh dedikasi yang mengajar para siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dengan memberikan fasilitas tunjangan kesejahteraan yang baik.

"Dukunglah sekolah-sekolah inklusi seperti ini, berikan guru-gurunya pelatihan untuk lebih memahami dan mendidik murid-murid berkebutuhan khusus," katanya.

Senada dengan Lusy, Indah, ibu dari anak dengan autisme dan Rosi yang putrinya down syndrome sepakat bahwa dalam serba-keterbatasan Debby telah membawa harapan ke dalam ruang kehidupan keluarga mereka.

"Gladys sekarang sudah kelas dua SD, dulu masih susah komunikasi dua arah, tapi kini sudah pintar bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Saya enggak tahu harus bagaimana kalau sampai sekolah ini tutup," kata Rosi.

Indah, seorang ibu tunggal yang setiap hari harus berjibaku merawat ketiga anaknya mengatakan hal yang sama. Mencari sekolah yang mau menerima putra bungsunya yang berkebutuhan khusus sangatlah sulit. "Kalaupun ada, biayanya mahal sekali. Di sini, Miss Debby banyak bantu."

Menyalakan asa

Dedikasi Debby tidak hanya teruji dalam ruang kelas. Ketika ancaman pembubaran SDS Eureka datang, ia adalah salah satu orang yang berdiri di barisan depan untuk mendampingi para orang tua mempertahankan sekolah. "Saya tidak bisa membayangkan kemana anak-anak ini akan pergi jika sekolah ini tutup," ungkapnya. Ia bahkan pernah menggunakan sebagian besar gajinya untuk membeli perlengkapan sekolah atau sekadar mentraktir selebrasi tertentu bersama murid-murid kesayangan dia.

Bagi Debby, pendidikan inklusi adalah bentuk keadilan sosial. Ia percaya bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan bermutu, tanpa memandang keterbatasan fisik, mental, atau ekonomi. "Kita tidak hanya mendidik anak-anak untuk bisa membaca atau menulis. Kita sedang membentuk mereka menjadi manusia yang percaya diri dan mandiri," ujarnya penuh keyakinan.

Meski beban berat seringkali ia pikul bersama rekan-rekan sejawatnya di sekolah itu, Debby tidak pernah kehilangan semangat. Ia mengaku menemukan kekuatan dalam senyum dan tawa murid-muridnya. "Saat melihat mereka berhasil, sekecil apapun itu, rasanya semua perjuangan ini terbayar," kata Debby, matanya berkaca-kaca.

"Miss Debby salah satu guru yang kreatif, tegas dan berwibawa. Miss Debby mengembangkan pola serta metode pendekatan terhadap anak serta menggabungkan kolaborasi dengan rekan kerja," kata Tirza, salah satu rekan Debby di SDS Eureka yang sudah mengajar sejak 2015 tersebut.

Inspirasi semua

Kisah Debby Pietersz adalah potret dari ribuan guru lain di Indonesia yang bekerja dalam jalannya yang sunyi, menghadapi tantangan besar dengan sumber daya yang minim. Mereka mungkin tidak selalu menuai penghargaan atau sorotan, tetapi dampaknya tidak ternilai.

Melalui perjuangannya, Debby mengajarkan bahwa menjadi pendidik adalah panggilan jiwa. Ini tentang memberi, melayani, dan mencintai tanpa syarat. Dalam semangat pendidikan bermutu untuk semua, ia mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah hak setiap anak, bukan hanya mereka yang dianggap "normal" atau "berbakat."

SD-TK Eureka National Plus mungkin tidak memiliki gedung mewah atau fasilitas canggih, tetapi di sana ada cahaya harapan. Cahaya itu bersumber dari Debby dan guru-guru lain yang memilih untuk tidak menyerah, meski seringkali merasa sendiri menapaki masa depan yang tak pernah pasti. Mereka adalah pilar yang menopang masa depan bangsa, mewujudkan Indonesia yang kuat melalui pendidikan.

"Guru itu tidak hanya mengajar," ujar Debby suatu kali, "Guru adalah jembatan yang membantu anak-anak melintasi sungai keterbatasan mereka. Dan di ujung jembatan itu, saya ingin mereka melihat bahwa dunia ini penuh peluang, bukan hambatan. Dan saya punya hati untuk mereka."

Kisah Debby adalah undangan bagi kita semua untuk merayakan guru-guru hebat di seluruh Indonesia. Sebab, di tangan merekalah, masa depan anak-anak dan bangsa ini dititipkan. (Ant/I-2)

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |