Sri Mulyani: Kebijakan Tarif Trump Bakal Bikin Permintaan Minyak Dunia Menciut

5 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan bahwa gejolak geopolitik global sejak awal tahun 2025 telah memicu penurunan permintaan minyak dunia, yang berdampak langsung pada pergerakan harga minyak mentah internasional.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa saat pemerintah menyusun APBN 2025 bersama DPR, khususnya Komisi VII yang membidangi sektor energi, telah disepakati asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) berada di level USD82 per barel.

Angka ini sama dengan asumsi pada APBN 2024 dan didasarkan pada optimisme terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global yang saat itu diperkirakan mencapai di atas 3 persen.

"Melihat supply demand waktu itu sebelum APBN disetujui DPR, suasana dunia yang lebih optimis 2025 growth-nya diatas 3 persen dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang cukup tinggi maka diasumsikan harga minyak akan terjaga di USD82 per barel," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (30/4/2025).

Namun, kata Menkeu, perkembangan global yang terjadi sejak awal tahun ini menunjukkan arah yang berbeda. Serangkaian konflik geopolitik dan ketegangan internasional menciptakan ketidakpastian besar yang berdampak pada pasar energi dunia.

Di antaranya, perang yang terus berlangsung di Timur Tengah, ketegangan di Suriah, eskalasi konflik antara Rusia dan Ukraina, serta kebijakan tarif balasan atau reciprocal tariffs yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

"Semuanya menunjukkan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang cenderung melemah di dunia," ujarnya.

Latar Belakang Permintaan Minyak diproyeksikan Menurun

Menurunnya permintaan terhadap minyak terjadi bersamaan dengan kebijakan OPEC+ yang tetap mempertahankan level produksi. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan pasar yang menyebabkan harga minyak sempat anjlok hingga ke level USD60 per barel.

"Waktu Presiden Trump mengumumkan resiprokal tarif, bahkan harga minyak sempat menyentuh USD60 per barel sekarang sudah kembali dikisaran USD71 per barel," ujar Menkeu.

Sri Mulyani menekankan bahwa fluktuasi harga minyak ini adalah bukti nyata dari tingginya sensitivitas pasar energi terhadap faktor-faktor eksternal, terutama keputusan politik dan kebijakan luar negeri negara-negara besar.

"Ini yang menggambarkan bagaimana volatilitas geopolitik dan keputusan-keputusan negara, termasuk negara-negara yang berpengaruh bisa mempengaruhi harga minyak," jelasnya.

Perkembangan Harga Minyak

Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa rata-rata harga minyak year-to-date (ytd) dari Januari hingga Maret 2025 berada pada angka USD74,1 per barel. Sementara itu, untuk akhir periode tahun ini, pemerintah memperkirakan harga akan berada di kisaran USD71,1 per barel. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan asumsi APBN yang mematok harga di USD82 per barel.

Terkait dengan produksi dalam negeri, Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa target lifting minyak dan gas dalam APBN 2025 tampaknya sulit tercapai.

Untuk minyak, target lifting ditetapkan sebesar 605 ribu barel per hari, namun hingga Maret baru terealisasi sebesar 573,9 ribu barel per hari. Sementara itu, target lifting gas sebesar 1.005.000 barel setara minyak per hari juga belum tercapai, dengan realisasi sebesar 985,7 ribu barel per hari.

"Kita lihat dibandingan tahun lalu realisasi ini mirip atau snagat dekat tapi relatif cenderung lebih rendah lagi dbanding realisasi tahun lalu," ujarnya.

Penurunan harga minyak dan pencapaian lifting yang belum optimal berpotensi berdampak pada penerimaan negara, terutama dari sektor migas.

Hal ini menjadi perhatian khusus dalam pengelolaan fiskal ke depan, mengingat ketergantungan APBN terhadap penerimaan dari sektor sumber daya alam masih cukup signifikan.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |