Pemerintah RI Harus Belajar dari Kanada soal Pajak E-Commerce

5 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia berencana memberlakukan PPh Pasal 22 untuk pedagang e-commerce, di mana marketplace seperti Tokopedia dan Shopee akan ditunjuk sebagai pemungut pajak atas transaksi pedagang yang beromzet di atas Rp500 juta per tahun.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menyebut kebijakan ini bukan pajak baru, melainkan perubahan skema pelaporan pajak dari mandiri menjadi pemungutan otomatis di sumber transaksi.

Seperti halnya pedagang pasar tradisional yang membayar retribusi pasar, pedagang digital kini dikenakan pungutan langsung oleh pengelola platform.

Tujuannya jelas, menyederhanakan administrasi, meningkatkan kepatuhan, serta menutup celah shadow economy yang selama ini lolos dari radar fiskus.

"Namun pertanyaannya, mengapa hanya marketplace lokal yang disasar? Bukankah revenue digital Indonesia sebagian besar dinikmati oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix?," kata Achmad dikutip Selasa (1/7/2025).

Ia pun mempertanyakan bukankah keadilan fiskal menuntut kontribusi seimbang dari semua pelaku ekonomi digital tanpa memandang batas negara.

Adapun masalah ini mengemuka seiring langkah Kanada memberlakukan Digital Services Tax (DST) pada Juni 2024.

Belajar dari Digital Services Tax (DST) Versi Kanada

DST Kanada mengenakan pajak 3% atas pendapatan digital perusahaan teknologi global dengan omzet di atas €750 juta dan revenue di Kanada di atas USD 20 juta.

Pajak ini bersifat retroaktif sejak Januari 2022, menargetkan pendapatan iklan, data pengguna, dan online marketplace yang selama ini tak tersentuh pajak korporasi Kanada.

Presiden Trump pada 27 Juni 2025 merespons keras dengan memutus negosiasi dagang AS-Kanada, menuduh DST sebagai diskriminasi terhadap perusahaan AS.

"Google pun mengenakan surcharge tambahan kepada pengiklan di Kanada untuk menutup beban DST," ujarnya.

Kesamaan PPh 22 E-commerce Indonesia dan DST Versi Kanada

Lebih lanjut, Achmad menyebut Indonesia sesungguhnya memiliki urgensi yang sama. Digital economy Indonesia dikuasai raksasa teknologi global, sementara pajak yang dipungut hanya PPN PMSE 11% dan tidak menyasar keuntungan yang ditarik keluar negeri.

Skema PPh 22 e-commerce yang menargetkan marketplace lokal memang menutup celah shadow economy domestik, namun meninggalkan lubang besar dalam keadilan fiskal digital karena tidak menyasar revenue raksasa digital global yang mengekstrak nilai ekonomi Indonesia tanpa kontribusi fiskal proporsional.

"Marketplace lokal dipajaki, UMKM digital diatur kepatuhannya, sementara perusahaan global hanya dikenakan PPN PMSE tanpa DST atas keuntungan mereka," pungkasnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |