Liputan6.com, Jakarta Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bidang Akademik dan Riset, Sahara, menyoroti tingginya risiko penyalahgunaan dana desa jika tidak diiringi dengan transparansi dan pengawasan berbasis teknologi.
Ia menekankan pentingnya penerapan digitalisasi melalui sistem blockchain dan e-katalog untuk memastikan pelacakan penggunaan dana desa secara real-time.
"Digitalisasi dan transparansi dengan sistem blockchain dan e-katalog itu juga menjadi sangat penting untuk pelacakan real time dana dan belanja lokal. Tentu saja transparansi anggaran menjadi salah satu faktor keberhasilan pembangunan infrastruktur di pedesaan," kata Sahara dalam Launching ISEI Lead Indicator, secara virtual, Selasa (1/7/2025).
Lebih lanjut, ia pun mencontohkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa sekitar 15% anggaran pembangunan infrastruktur desa di salah satu provinsi tidak tercatat dalam sistem e-budgeting, yang menimbulkan dugaan penyimpangan anggaran.
"Kasus dari temuan BPK bahwa ada 15% anggaran pembangunan infrastruktur desa di suatu provinsi ini ternyata tidak tercatat dalam sistem e-budgeting. Sehingga menimbulkan dugaan penggunaan dana untuk biaya yang tidak terduga," ujarnya.
Adapun pada tahun 2024, pemerintah mengalokasikan dana desa sebesar Rp146,98 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Dana ini difokuskan untuk pembangunan sumber daya air, jalan, jembatan, hingga pemukiman dan perumahan.
Namun, alokasi dana besar tersebut justru membuka celah bagi praktik korupsi dan mark-up proyek.
Tren Korupsi Dana Desa Terus Meningkat
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa tren korupsi dana desa terus meningkat sejak 2016 dan memuncak pada 2022 dengan 381 kasus. Modus korupsi yang paling umum antara lain mark-up anggaran dan penggunaan dana untuk pengeluaran tidak terduga.
"Dicatat oleh ICW bahwa tren korupsi dana desa itu sejak tahun 2016, menunjukkan peningkatan. Mencapai puncaknya tahun 2022 dengan jumlah kasus sebanyak 381. Dan praktik korupsi seperti mark up anggaran ini sampai sekarang ini masih terus terjadi," ujarnya.
Padahal dana desa itu ditujukan untuk membangun infrastruktur dasar seperti air bersih, listrik, jalan usaha tani, jembatan, internet desa, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan. Pembangunan ini seharusnya menjadi motor utama pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Infrastruktur Pedesaan Kunci Cegah Urbanisasi
ISEI juga menggarisbawahi bahwa penguatan infrastruktur desa bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga langkah strategis untuk menahan laju urbanisasi. Sahara mengungkapkan bahwa pada tahun 1995, lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal di desa, namun jumlah itu terus menurun drastis pasca 2010.
"Kita tahu bahwa dulu di tahun 1995, sebagian besar masyarakat kita itu masih tinggal di daerah pedesaan. Lebih dari 60% kalau kita lihat, Tapi trennya semakin lama semakin menurun. Hingga di tahun 2010 kalau kita lihat jumlah populasi pedesaan dan perkotaan relatif sama," ujarnya.
ISEI pun mendorong penguatan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan manajemen proyek, serta mendorong paradigma penganggaran berbasis ESG (Environmental, Social, Governance) dan community resilience. Hal ini diharapkan mampu menjadikan pembangunan desa lebih berkelanjutan dan tepat sasaran.