Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menuturkan, kebijakan perdagangan yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui tarif untuk menutup defisit perdagangan.
Sri Mulyani mengatakan, tak memahami dasar pengenaan tarif impor baru yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terhadap sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Dia menilai, tarif impor tinggi yang dikenakan Presiden Trump terhadap 60 negara tidak ada dalam rumus ekonomi.
"Tarif resiprokal yang disampaikan oleh Amerika terhadap 60 negara menggambarkan cara penghitungan tarif tersebut, yang saya rasa semua ekonom yang sudah belajar ekonomi tidak bisa memahami. Jadi, ini juga sudah tidak berlaku lagi ilmu ekonomi," ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, dikutip Rabu (9/4/2025).
Sri Mulyani menyebut kebijakan yang ditemukan Presiden AS itu semata-mata demi menutup defisit neraca dagang AS. Saat ini, Indonesia dikenakan impor tarif baru oleh Trump sebesar 32 persen.
“Jadi, yang penting pokoknya tarif duluan. Karena tujuannya adalah menutup defisit, tidak ada ilmu ekonominya di situ, menutup defisit," kata dia.
Kebijakan tarif impor yang dikenakan Trump tersebut perlu segera diantisipasi. Sri Mulyani menilai kebijakan tarif tersebut berpotensi memicu perang dagang yang mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia.
"Jadi ini adalah situasi yang harus kita hadapi secara sangat open minded, pragmatik dan pada saat yang sama kita harus cepat," ujarnya.
Pemerintah sendiri memilih jalur negosiasi ketimbang melakukan perlawanan seperti China dan Uni Eropa. Sri Mulyani bilang strategi ini bagian dari upaya pemerintah untuk mencari peluang ekspor baru ke pasar AS.
Dia mengatakan, strategi negosiasi juga banyak ditempuh oleh berbagai negara. Namun, hasil dari negosiasi tarif impor tersebut tidak selamanya akan menyenangkan.
"Jadi berbagai negara yang lain mungkin lebih kepalanya dingin dengan pendekatan diplomasi dan negosiasi. Tapi not necessarily, hasilnya juga bisa tidak menyenangkan," ujar dia.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com