Runtuhnya Evergrande: Simbol Krisis Properti yang Guncang Ekonomi China

3 weeks ago 26

Liputan6.com, Jakarta - Saham raksasa properti China Evergrande resmi dikeluarkan dari bursa Hong Kong pada Senin, 25 Agustus 2025 dan mengakhiri perjalanan perdagangan yang sudah berjalan selama lebih dari 16 tahun.

Langkah ini menjadi catatan kelam bagi perusahaan real estat yang pernah menjadi terbesar di China dengan valuasi pasar mencapai lebih dari USD 50 miliar (£37,1 miliar/Rp 813 triliun, estimasi kurs Rp 16.200/USD), sebelum akhirnya tumbang karena lilitan utang yang sangat besar.

Para analis menilai, pencabutan tersebut merupakan langkah yang tak terelakkan dan bersifat final.

"Sekali dihapus dari daftar, tidak ada jalan kembali," kata Direktur Tiongkok di konsultan risiko politik Eurasia Group, Dan Wang, seperti dikutip dari BBC, Senin (25/8/2025).

Kini, Evergrande dikenal sebagai simbol krisis yang selama bertahun-tahun membebani perekonomian terbesar kedua di dunia.

Apa yang terjadi dengan Evergrande?

Beberapa tahun lalu, Evergrande Group masih dipandang sebagai simbol keajaiban ekonomi China. Pendiri sekaligus ketuanya, Hui Ka Yan, berhasil meniti jalan dari kehidupan sederhana di pedesaan hingga menjadi orang terkaya di Asia versi Forbes pada 2017.

Namun, kekayaannya yang pernah mencapai sekitar USD 45 miliar atau sekitar Rp 731,8 triliun kini menyusut drastis menjadi kurang dari satu miliar. Kejatuhan pribadi Hui sama dramatisnya dengan runtuhnya kerajaan bisnis yang ia bangun.

Merambah Sektor Lain

Pada Maret 2024, Hui Ka Yan dijatuhi denda sebesar USD 6,5 juta atau Rp 105,7 miliar dan dijatuhi larangan seumur hidup untuk terlibat di pasar modal Tiongkok setelah terbukti perusahaannya melebih-lebihkan pendapatan hingga USD 78 miliar.

Para likuidator kini juga meneliti kemungkinan memulihkan dana bagi para kreditur melalui harta pribadi Hui. Saat ambruk, Evergrande tercatat memiliki sekitar 1.300 proyek yang tersebar di 280 kota di seluruh Tiongkok.

Kekaisaran bisnis Evergrande juga merambah ke sektor lain, termasuk produsen mobil listrik dan Guangzhou FC, klub sepak bola tersukses di Tiongkok yang akhirnya dikeluarkan dari liga pada awal tahun ini karena gagal melunasi sebagian besar utangnya. Perusahaan ini dibangun dengan utang sekitar USD 300 miliar (£222 miliar/Rp4,8 kuadriliun), sehingga mendapat cap sebagai pengembang properti paling berutang di dunia.

Krisis Evergrande mulai mencuat setelah Beijing menerapkan aturan baru pada 2020 untuk membatasi jumlah pinjaman yang bisa diajukan pengembang besar. Kebijakan ini memaksa Evergrande menjual properti dengan diskon besar-besaran demi menjaga arus kas agar bisnis tetap berjalan.

Namun, tekanan semakin berat hingga perusahaan kesulitan membayar bunga dan akhirnya gagal memenuhi sebagian kewajiban utang luar negerinya.

Utang Perusahaan Membengkak

Setelah melalui bertahun-tahun sengketa hukum, Pengadilan Tinggi Hong Kong pada Januari 2024 memerintahkan Evergrande untuk dilikuidasi. Sejak saat itu, saham perusahaan terancam dihapus dari bursa karena perdagangannya dihentikan mengikuti putusan pengadilan. Krisis yang melanda telah menggerus lebih dari 99% nilai kapitalisasi pasar Evergrande.

Perintah likuidasi dijatuhkan setelah Evergrande gagal menyusun rencana yang layak untuk melunasi kewajiban luar negeri bernilai miliaran dolar. Pada awal bulan ini, likuidator mengungkapkan total utang perusahaan telah membengkak hingga USD 45 miliar (sekitar Rp731,8 triliun), sementara aset yang berhasil dijual baru mencapai USD 255 juta (sekitar Rp4,1 triliun). Mereka menegaskan, restrukturisasi menyeluruh terhadap bisnis Evergrande “mustahil untuk diwujudkan.”

"Pencabutan daftar itu sekarang tentu saja simbolis, tetapi ini merupakan tonggak sejarah," kata Wang.

Yang kini tersisa hanyalah pertanyaan mengenai kreditor mana yang akan menerima pembayaran serta berapa besar jumlah yang dapat mereka peroleh dari proses kebangkrutan, ujar Profesor Shitong Qiao dari Universitas Duke. Sidang likuidasi selanjutnya dijadwalkan berlangsung pada September mendatang.

Dampak terhadap Ekonomi China

Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi China?

China tengah menghadapi berbagai tantangan besar, mulai dari tarif yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump, tingginya utang pemerintah daerah, lemahnya belanja konsumen, meningkatnya pengangguran, hingga populasi yang menua.

Namun, para ahli menilai kebangkrutan Evergrande, ditambah dengan krisis yang juga dialami sejumlah pengembang lain, menjadi pukulan paling berat bagi negara tersebut.

"Penurunan harga properti telah menjadi hambatan terbesar bagi perekonomian, dan alasan utama mengapa konsumsi tertekan," kata Wang.

Situasi ini menjadi semakin pelik karena sektor properti menyumbang hampir sepertiga perekonomian Tiongkok sekaligus menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintah daerah.

"Saya rasa Tiongkok belum menemukan alternatif yang layak untuk mendukung perekonomiannya dalam skala yang sama," kata Profesor Qiao.

Krisis Properti

Krisis properti telah memicu "PHK besar-besaran" di kalangan pengembang yang terbebani utang. Hal itu seperti disampaikan Jackson Chan dari platform riset pasar keuangan Bondsupermart.

Bahkan, pekerja yang masih bertahan di industri real estat pun banyak yang harus menerima pemotongan gaji signifikan. Situasi ini turut menghantam rumah tangga China, mengingat sebagian besar tabungan mereka biasanya diinvestasikan dalam bentuk properti.

Harga rumah yang anjlok hingga setidaknya 30% membuat banyak keluarga Tiongkok melihat tabungan mereka tergerus, jelas Alicia Garcia-Herrero, kepala ekonom Asia Pasifik di bank Prancis Natixis. Kondisi ini membuat masyarakat enggan berbelanja maupun berinvestasi, tambahnya. Menanggapi hal tersebut, Beijing meluncurkan berbagai inisiatif untuk menghidupkan kembali pasar properti, mendorong konsumsi, serta memperkuat perekonomian secara keseluruhan.

Program pemulihan ini meliputi berbagai kebijakan, mulai dari dukungan bagi pemilik rumah baru, dorongan terhadap pasar saham, hingga insentif pembelian mobil listrik dan perlengkapan rumah tangga.

Meski Beijing telah mengucurkan ratusan miliar dolar ke perekonomian, laju pertumbuhan China kini hanya sekitar 5%. Angka ini mungkin dianggap sehat oleh banyak negara Barat, tetapi tergolong lambat bagi China yang pada 2010 pernah mencatat pertumbuhan di atas 10% per tahun.

Apakah Krisis Properti Sudah Berakhir?

Singkatnya, prospek pemulihan sektor properti China masih suram. Meski Evergrande terus mendominasi pemberitaan, sejumlah pengembang lain juga menghadapi tekanan serupa.

Awal bulan ini, China South City Holdings mendapat perintah likuidasi dari Pengadilan Tinggi Hong Kong, menjadikannya pengembang terbesar yang menyusul nasib Evergrande.

Sementara itu, pesaing utamanya, Country Garden, masih berupaya mencapai kesepakatan dengan kreditor untuk merestrukturisasi utang luar negeri lebih dari USD 14 miliar atau sekitar Rp 227,6 triliun. Sidang likuidasi berikutnya di Pengadilan Tinggi Hong Kong dijadwalkan pada Januari 2026.

"Seluruh sektor properti sedang mengalami kesulitan. Lebih banyak perusahaan properti Tiongkok akan bangkrut," kata Profesor Qiao.

Walau pemerintah Tiongkok telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk menstabilkan pasar properti dan menjaga perekonomian tetap bergerak, mereka belum mengambil langkah langsung untuk menyelamatkan para pengembang dari krisis yang membelit.

Chan mengatakan inisiatif-inisiatif ini tampaknya berdampak positif pada pasar properti: "Kami pikir titik terendah telah tercapai dan pemulihannya akan berlangsung lambat. Namun, kami mungkin tidak memperkirakan pemulihannya akan terlalu kuat."

Goldman Sachs Prediksi Harga Properti Bakal Merosot

Pada Juni lalu, raksasa investasi Wall Street, Goldman Sachs, memperingatkan harga properti di China diperkirakan masih akan terus merosot hingga setidaknya tahun 2027.

Wang setuju, dan memperkirakan pasar properti China yang terdampak akan "mencapai titik terendah" dalam waktu sekitar dua tahun ketika permintaan akhirnya mengejar pasokan.

Namun, Garcia-Herrero mengatakannya dengan lebih gamblang: "tidak ada cahaya nyata di ujung terowongan."

Beijing telah mengirimkan "pesan yang jelas tentang niatnya untuk tidak menyelamatkan sektor perumahan," tambah Wang.

Pemerintah Cina telah berhati-hati untuk menghindari jenis tindakan yang dapat mendorong emerintah Tiongkok tetap berhati-hati untuk tidak mengambil langkah yang justru bisa mendorong perilaku spekulatif di tengah industri yang sudah terlilit utang besar.

Jika dulu sektor properti menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi, kini prioritas Partai Komunis beralih ke bidang lain. Presiden Xi Jinping lebih menekankan pengembangan industri berteknologi tinggi, seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, dan robotika.

"Tiongkok sedang dalam transisi mendalam menuju era pembangunan baru," ujar Wang.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |