Liputan6.com, Jakarta Rupiah (IDR) terapresiasi pada perdagangan hari Jumat (16/5), didukung oleh ekspektasi penurunan suku bunga The Fed yang semakin tinggi setelah melemahnya data-data ekonomi AS. Nilai Rupiah terhadap dolar AS terapresiasi 0,46% ke level IDR16.440 per Dolar AS pada Jumat (16/5/2025).
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede mengungkapkan bahwa deflasi dari sisi produsen membuka ruang perlambatan inflasi lebih lanjut di tingak konsumen, sehingga terdapat potensi penurunan suku bunga yang lebih cepat.
“Ekspektasi ini kemudian mendorong sentimen risk-on di pasar keuangan Asia, sehingga hampir sebagian besar mata uang Asia menguat terhadap Dolar AS,” ujar Josua kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (16/5/2025).
Pergerakan Rupiah Pekan Ini
Josua mencatat, Rupiah di pekan ini mampu menguat 0,46%wtw, akibat dari sentimen risk-on dari sisi perang dagang serta dari ekspektasi penurunan suku bunga The Fed.
“Pada pekan depan, Rupiah berpotensi melemah terbatas jelang pengumuman RDG BI pada tanggal 21 Mei mendatang. Rupiah diperkirakan bergerak di kisaran IDR16.400-16.525 per Dolar AS,” bebernya.
Ia menjelaskan, pelemahan nilai tukar Rupiah juga diakibatkan oleh data AS yang cenderung menguat, seperti data keyakinan konsumen.
Bahaya Rupiah Jadi Salah Satu Mata Uang Paling Loyo di Asia
Sebelumnya, Josua Pardede, mengatakan kondisi ini menempatkan rupiah sebagai salah satu mata uang di Asia yang menunjukkan kinerja kurang stabil terhadap dolar Amerika Serikat.
“Kalau kita bicara perkembangan rupiah saat ini, ini penutupan di hari tanggal 9 Mei kemarin di sekitar masih Rp16.500-an, artinya memang kita bicara kondisinya, memang sejauh ini rupiah masih menjadi salah satu currency di Asia yang mengalami kelemahan terhadap dolar AS,” kata Josua di kantor Permata Bank, Jakarta, Rabu (14/5) lalu.
Salah satu faktor utama di balik tekanan terhadap rupiah adalah ekspektasi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini.
Perkiraan tersebut turut memicu aksi jual bersih oleh investor asing di pasar saham, karena prospek pertumbuhan ekonomi dinilai memiliki dampak langsung terhadap potensi keuntungan korporasi.
Pasar Obligasi Lesu, Saham Teknologi Tumbuh 84%
Selain pasar saham, tekanan juga dirasakan di pasar obligasi. Saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia masih berada di bawah level 6,8–6,9 persen.
“Obligasi pun juga kalau kita melihat saat ini, pasar obligasi yield-nya pun juga masih bergisar di bawah 6,8-6,9 persen,” ujarnya.
Adapun kata Josua, di tengah berbagai tekanan tersebut, sektor teknologi menjadi sektor yang menunjukkan performa paling kuat secara tahunan, dengan kenaikan signifikan sebesar 84 persen.
“Kalau kita lihat secara spesifik misalkan di pasar saham, sampai dengan penutupan akhir minggu, akhir ya ini masih secara tahun kalender ya, masih kinerja saham-saham sektor teknologi masih berkinerja yang masih paling baik, 84 persen,” jelasnya.