Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini berbagai perusahaan besar di dunia, mulai dari teknologi hingga maskapai penerbangan gencar melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Alasan yang selalu diungkap dalam aksi PHK ini adalah kecerdasan buatan (AI) sebagai penyebabnya.
Namun, sejumlah pakar menilai bahwa AI justru dijadikan kambing hitam untuk menutupi alasan bisnisnya.
Dikutip dari CNBC, Senin (20/10/2025), Accenture, perusahaan konsultan teknologi global, baru-baru ini mengumumkan restrukturisasi besar-besaran. Karyawan yang tidak bisa beradaptasi dengan AI diminta untuk segera keluar.
Tidak lama setelah itu, Lufthansa, maskapai penerbangan asal Jerman, juga mengumumkan akan memangkas sekitar 4.000 posisi hingga tahun 2030 dengan alasan efisiensi melalui penerapan AI.
Langkah yang sama juga dilakukan oleh Salesforce yang memberhentikan sekitar 4.000 pegawai di bidang layanan pelanggan, dengan alasan AI mampu menyelesaikan separuh beban kerja mereka.
Perusahaan digital Klarna bahkan memangkas 40% stafnya karena penggunaan AI. Sedangkan Duolingo, berencana mengurangi tenaga kontrak dan menggantinya dengan sistem AI.
Perusahaan Jadikan AI sebagai Kambing Hitam
Namun, di balik maraknya kabar tersebut, ada pandangan kritis yang menilai bahwa alasan efisiensi akibat AI hanya sekadar dalih. Fabian Stephany, asisten profesor di bidang AI, menyebut bahwa banyak perusahaan menjadikan AI sebagai "kambing hitam" atas kebijakan sulit seperti PHK massal.
“Saya ragu PHK ini benar disebabkan oleh AI, karena banyak perusahaan menggunakan AI sebagai alasan yang terlihat masuk akal,” ujarnya kepada CNBC.
Stephany menambahkan, perusahaan ingin terlihat inovatif dan kompetitif dengan mengumumkan penggunaan AI, padahal sebenarnya mereka sedang menutupi kesalahan manajemen, seperti perekrutan berlebihan saat pandemi COVID-19, seperti Klarna dan Duolingo yang menambahkan banyak pegawai saat permintaan melonjak di masa pandemi.
Kini, ketika ekonomi mulai stabil, mereka menyesuaikan jumlah karyawan dan menggunakan alasan "AI" untuk memperhalus keputusan tersebut.
Fenomena ini juga memicu perdebatan di media sosial. Jean Christophe Bougle, pendiri perusahaan teknologi Authentic.ly, menilai banyak proyek AI di perusahaan besar justru dihentikan karena masalah biaya dan keamanan. Tapi di sisi lain, mereka mengumumkan PHK besar-besaran dengan alasan AI.
AI Belum Sebesar Dibayangkan
Meskipun demikian, penelitian dari Yale University dan Bank Sentral New York menunjukkan bahwa dampak AI terhadap tenaga kerja sebenarnya belum sebesar yang dibayangkan. Data menunjukkan hanya sekitar 1% perusahaan layanan yang benar-benar melakukan PHK karena AI, sementara lebih banyak perusahaan yang menggunakan teknologi ini untuk melatih ulang pegawai.
Dengan kata lain, meski AI memang mengubah cara kerja di berbagai sektor, belum ada bukti kuat bahwa teknologi ini menjadi penyebab utama gelombang PHK. Bagi banyak perusahaan, AI tampaknya masih lebih sering dijadikan alasan, bukan ancaman nyata.