Liputan6.com, Jakarta - Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengingatkan, permintaan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun depan yang terlalu berlebihan bakal berdampak negatif. Hingga berpotensi menimbulkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Menurut dia, tuntutan kenaikan upah jadi hal lumrah yang kerap disuarakan kelompok pekerja setiap tahunnya. Namun, ia ingin agar permintaan itu turut dibarengi oleh perhitungan ekonomi yang cermat.
"Biasa dari tahun lalu juga begitu. Malah negatif dampaknya, karena harga-harga bisa naik psikologisnya," ujar Bob Azam kepada Liputan6.com, Senin (25/8/2025).
Dalam konteks perbaikan ekonomi, Bob tidak menyoroti kenaikan gaji sebagai hal paling utama. Melainkan daya beli yang lebih baik bagi buruh, serta kelangsungan usaha bagi perusahaan.
"Tahun lalu kita sudah ingatkan adanya potensi PHK dan itu terjadi. Kasihan mereka yang jadi korban karena policy yang salah," kata dia.
Ia konsisten mengusulkan agar penetapan upah minimum tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Dengan formula perhitungan upah mencakup tiga variabel, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
"Rujuk PP yang sudah ada biar penetapan UMP 2026 konsisten, PP 51/2023," sebut dia.
Tuntutan Kenaikan Upah 10,5% Dipertanyakan
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mempertanyakan basis hitungan buruh terhadap permintaan kenaikan UMP 2026 di rentang 8,5-10,5 persen.
"Kami melihatnya kan mustinya paling tidak pertumbuhan ekonomi plus inflasi. Kalau dengan pertumbuhan ekonomi plus inflasi, semustinya sih di kisaran 7 persen paling tidak," ujar dia kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
"Itu pun kalau pakai perhitungan yang lama, yang flat. Kalau dengan perhitungan baru, lebih rendah lagi," dia menegaskan.
Faisal mengatakan, kenaikan upah minimum tahun depan bukan hanya sekadar hitung-hitungan matematis saja, namun juga ada pertimbangan kondisi industri terkini.
"Walaupun juga kita melihat daya beli yang turun, tapi concern kita adalah bagaimana supaya daya beli ini dipertahankan, kalau bisa dinaikan, tapi bersama juga dengan peningkatan kinerja daripada industri," tuturnya.
Tak Ingin Picu PHK Massal
Melihat kasus-kasus kenaikan upah yang sudah ada, ia tidak ingin fenomena suatu industri collapse hingga aksi pemutusan hubungan kerja alias PHK massal kembali terjadi.
"Jadi jangan sampai tuntutan upah ini dari sisi presentase kenaikannya melebihi daripada indikator-indikator yang ada, khususnya di 2026, sehingga memberatkan industri juga pada akhirnya," ucapnya.
"Yang dikawatirkan, nanti juga akan memberatkan kepada para buruh/pekerja, dalam artian kalau sampai berujung pada PHK," kata Faisal.
UMP 2026 Tak Bakal Naik hingga 10,5%, Lalu Berapa?
Sebelumnya, kelompok buruh menuntut kenaikan upah minimum 2026 bisa tembus hingga 10,5 persen. Namun, sejumlah pakar menilai tuntutan itu sulit dikabulkan jika mengacu pada kondisi perekonomian terkini.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mempertanyakan basis hitungan buruh terhadap permintaan kenaikan UMP 2026 di rentang 8,5-10,5 persen.
"Kami melihatnya kan mustinya paling tidak pertumbuhan ekonomi plus inflasi. Kalau dengan pertumbuhan ekonomi plus inflasi, semustinya sih di kisaran 7 persen paling tidak," jelasnya kepada Liputan6.com, Kamis (21/8/2025).
"Itu pun kalau pakai perhitungan yang lama, yang flat. Kalau dengan perhitungan baru, lebih rendah lagi," dia menegaskan.
Adapun bila mengikuti perhitungan kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen, rumusannya yakni upah minimum 2024 ditambah nilai kenaikan upah minimum 2025.
Faisal mengatakan, kenaikan upah minimum tahun depan bukan hanya sekadar hitung-hitungan matematis saja, namun juga ada pertimbangan kondisi industri terkini.
"Walaupun juga kita melihat daya beli yang turun, tapi concern kita adalah bagaimana supaya daya beli ini dipertahankan, kalau bisa dinaikan, tapi bersama juga dengan peningkatan kinerja daripada industri," tuturnya.