PEMUNGUTAN suara dalam gelaran Pilkada 2024 telah usai. Hilal pemimpin baru mulai terlihat di sejumlah daerah, baik melalui hitung cepat maupun rekap C1. Sekarang kita memasuki tahap rekapitulasi yang mana hasil resminya akan diumumkan oleh KPU daerah selambatnya pada 16 Desember 2024.
Namun, pilkada tahun ini meninggalkan catatan penting, yaitu rendahnya partisipasi pemilih (Media Indonesia, 30/11/24). Partisipasi pemilih pada pilkada lebih rendah jika dibandingkan dengan Pilpres 2024. Partisipasi pemilih pada pilpres mencapai 81,78%, sedangkan partisipasi pemilih pada pilkada diperkirakan hanya sekitar 68,16%.
Partisipasi pemilih juga lebih rendah jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Di Jakarta, misalnya, angka partisipasi pemilih hanya 57,6%. Angka itu jauh di bawah capaian Pilkada Jakarta 2017 yang mencapai 77,1% pada putaran pertama dan 78,0% pada putaran kedua. Salah satu faktor psikologis yang dapat menjelaskan fenomena itu ialah kelelahan pemilih.
Kelelahan pemilih
Sebelum membahas tentang kelelahan, perlu kita pahami bersama bahwa tidak semua orang benar-benar berminat memperhatikan informasi seputar politik. Setiap saat kita menerima banyak stimulus informasi, tetapi kapasitas kognitif kita sangatlah terbatas. Karena itu, dengan sendirinya, kita selektif untuk memilah dan memilih informasi mana saja yang layak untuk diproses lebih lanjut.
Bagi generasi Z, misalnya, informasi yang bersentuhan langsung dengan pendidikan, lapangan pekerjaan, dan hiburan jauh lebih penting daripada informasi politik--termasuk pilkada.
Bagi sebagian orang yang mau meluangkan waktu untuk memperhatikan informasi politik pun, patut ditanyakan lebih dalam, seberapa banyak informasi yang dapat dicerna dengan baik? Kita tidak bisa menafikan bahwa rangkaian pilkada yang hanya selang beberapa bulan setelah rangkaian pilpres usai itu sangat melelahkan, baik secara fisik maupun psikologis.
Awalnya kontestasi politik lima tahunan itu menarik dan memberi rasa suka cita bagi masyarakat. Namun, akrobat politik satu tahun terakhir membuat kita butuh banyak energi untuk memahaminya. Ditambah lagi pemandangan baliho yang terpasang tak beraturan di sepanjang jalan dan gimik politik yang tersebar di jagat maya menambah jumlah informasi yang harus kita proses. Akibatnya, kita rentan mengalami kejenuhan informasi (information overload).
Dalam kajian psikologi, fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan konsep kelelahan kognitif (cognitive fatigue). Robert Hocky (2013) melalui buku yang bertajuk The Psyhology of Fatigue: Work, Effort, and Control menjelaskan bahwa kelelahan kognitif terjadi ketika seseorang terus-menerus dipaksa mengerahkan upaya kognitif melebihi batas kemampuannya. Akibatnya, seseorang sulit melakukan analisis secara kritis dan mengambil keputusan secara tepat. Konsep itu relevan untuk menjelaskan fenomena kelelahan masyarakat dalam konteks situasi menghadapi informasi seputar pilkada.
Penelitian yang dilakukan oleh Hjermislev dan Johnston (2023) menunjukkan bahwa kelelahan kognitif memengaruhi kualitas keterlibatan politik (political engagement). Seseorang yang mengalami kelelahan akan meminimalkan keterlibatan politik, baik secara kognitif, afektif, maupun behavioral. Ia akan mengurangi aktivitas yang bersinggungan dengan politik, seperti membaca berita politik, menyimak debat, menulis pada kolom komentar media sosial, atau mendiskusikan calon pemimpin dengan orang-orang terdekat.
Ketika tiba saat mengambil keputusan pilihan, pemilih yang lelah cenderung menggunakan heuristik (heuristic) atau aturan-aturan sederhana dalam pengambilan keputusan. Misalnya, mengambil keputusan berdasarkan kemiripan dengan kelompok tertentu atau informasi yang tersedia dalam kognisi kita.
Alih-alih mempelajari visi, misi, dan program kerja serta karakteristik personal calon pemimpin, pemilih mungkin memilih berdasarkan hal-hal yang perifer, seperti kemiripan simbol warna pakaian kandidat dengan kandidat sebelumnya yang berlaga dalam pilpres, endorsement dari tokoh-tokoh tertentu, atau familiernya wajah kandidat dalam memori kita.
Heuristik memang menguntungkan dalam hal efisiensi waktu dan usaha. Meskipun demikian, heuristik juga rawan bias karena cenderung membawa kita pada pengabaian informasi-informasi yang bermanfaat. Dalam konteks negara demokrasi, pemilih memang berhak memilih dengan pertimbangan apa pun, baik secara kompleks maupun sederhana. Namun, apakah itu mampu meningkatkan kualitas demokrasi?
Sebuah refleksi
Pilkada 2024 ini merupakan pengalaman pertama bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Rendahnya tingkat partisipasi pemilih perlu menjadi catatan penting bagi penyelenggaraan pilkada pada masa depan. Persoalannya bukan sekadar rendah secara kuantitas, melainkan karena secara simultan juga memengaruhi kualitas keterlibatan politik pemilih. Penyelenggara pemilu dan pembentuk undang-undang seyogianya tidak hanya memperhatikan aspek teknis, tetapi juga memperhatikan aspek psikologis pemilih.
Saran yang dapat dipertimbangkan ialah memberi jeda waktu yang lebih panjang antara pilpres dan pilkada. Penyelenggaraan pilkada dapat dilakukan di tengah-tengah antara pilpres satu dan pilpres berikutnya. Jeda yang lebih panjang akan memberi waktu bagi partai politik untuk mengumpulkan tenaga, memanaskan mesin partai, dan memikirkan secara saksama kandidat yang selaras dengan harapan masyarakat. Masyarakat sebagai pemilih juga memiliki waktu untuk recovery dari pemilu sebelumnya.
Akhirnya, mari kita kawal rangkaian pilkada ini hingga paripurna. Semoga pemimpin yang terpilih dapat menjalankan amanah dengan baik. Bagaimanapun, mereka secara sah telah dipilih oleh mayoritas pemilih yang berpartisipasi.