Nutrisi Optimal, Solusi Efektif untuk Imunitas, Alergi, dan Pertumbuhan Anak

20 hours ago 3
Nutrisi Optimal, Solusi Efektif untuk Imunitas, Alergi, dan Pertumbuhan Anak Dokter Spesialis Anak Konsultan Alergi Imunologi, Prof Anang Endaryanto(MI/HO)

Persalinan caesar dikaitkan dengan gangguan komposisi mikrobiota usus pada bayi, yang berpotensi mempengaruhi kesehatan jangka panjang.

Hal ini disebabkan oleh bayi yang lahir secara normal (vaginal) akan memiliki paparan mikroorganisme yang berbeda dengan bayi yang lahir melalui operasi caesar. Mikrobiota usus bayi yang lahir caesar cenderung kurang beragam dan didominasi oleh bakteri yang kurang menguntungkan yang berisiko mengganggu keseimbangan bakteri di dalam usus (disbiosis) pada anak dan kesehatan anak di kemudian hari.

Padahal, prevalensi persalinan dengan metode c-section dalam skala nasional meningkat dari 17,6%1 tahun 2018 menjadi 25,9% pada 2023. 

Dokter Spesialis Anak Konsultan Alergi Imunologi, Prof Anang Endaryanto, dalam sesi pertemuan ilmiah Expert Scientific Lecture yang diadakan di Pusat Riset dan Inovasi Global Danone, beberapa hari lalu, di Utrecht, Belanda, mengatakan, “Kondisi disbiosis dapat meningkatkan risiko bayi mengalami berbagai masalah alergi (seperti pilek, batuk kronik berulang, dan asma) dan gangguan imunitas tubuh (seperti infeksi, autoimun, dan penyakit inflamasi). Sementara saat bayi lahir secara normal, akan terpapar mikroorganisme yang ada di jalan lahir dan saluran cerna ibunya. Paparan bakteri ini membantu membentuk mikrobiota usus bayi yang sehat dan beragam, didominasi oleh bakteri baik seperti Bifidobacterium dan Bacteroides. Mikrobiota usus yang sehat ini akan mendukung perkembangan sistem kekebalan tubuh bayi yang protektif dan seimbang, sehingga tubuh lebih tahan terhadap penyakit infeksi, kanker, alergi, dan autoimun, serta mendukung pertumbuhan yang optimal.”

Dampak penting pasca c-section adalah tantangan kesehatan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak seperti alergi. Alergi makanan berpotensi mempengaruhi status nutrisi dan pertumbuhan. 

Salah satu contohnya adalah isu alergi susu sapi pada anak, yang kasusnya mencapai 0,5-7,5% per tahun dari jumlah kelahiran bayi di Indonesia. Alergi susu sapi (ASS) yang dimediasi IgE sering terjadi pada masa anak, mempengaruhi sekitar 1,9-4,9% anak di seluruh dunia.

Lebih lanjut, Prof Anang mengatakan, “Alergi protein susu sapi yang dimediasi IgE merupakan salah satu alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak usia dini. Penatalaksaan anak dengan alergi protein susu sapi yang terpenting adalah dengan menghindari alergen yaitu protein susu sapi dan memberikan penggantinya." 

"Para ibu yang menyusui juga disarankan menghindari konsumsi protein susu sapi dan turunannya. Faktor risiko terjadinya alergi protein susu sapi meliputi kelahiran prematur, alergi makanan pada ibu, pemberian antibiotik selama kehamilan, dan pengenalan makanan pendamping saat anak berusia kurang dari 4 bulan serta kelahiran melalui operasi caesar." 

"Sebagian besar dokter anak di Indonesia sudah cukup memahami alergi susu sapi dan rekomendasi yang disusun IDAI. Namun, upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keakuratan dalam diagnosis alergi susu sapi akan terus dilakukan,” lanjutnya.

Untuk meminimalisir dampak alergi ini, pedoman European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan eHF berbasis protein susu sapi sebagai pengobatan lini pertama untuk anak-anak dengan kondisi alergi protein susu sapi. 

Bagi anak yang memiliki alergi susu sapi seperti ini, direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan dokter dalam memberikan formula pengganti berupa formula protein susu sapi yang terhidrolisis ekstensif (eHF), formula asam amino (AAF), atau formula isolat protein soya atau kedelai (SIF).

Masalah nutrisi yang tidak optimal juga merupakan isu penting karena dapat mempengaruhi perkembangan anak dalam jangka panjang. 

Masalah pertumbuhan terbanyak di Indonesia adalah stunting, yaitu panjang/tinggi badan kurang dari -2 SD (Standar Deviasi) grafik WHO14 yang disebabkan oleh malnutrisi kronik. 

Masalah gizi lainnya adalah weight faltering, gizi kurang, dan gizi buruk. Semua masalah gizi tersebut akan menyebabkan dampak jangka pendek, yatu menurunnya imunitas dan dampak jangka panjang, yaitu risiko sindrom metabolik dan gangguan perkembangan kognitif. Oleh karena itu penting untuk mencegah stunting dengan cara mendeteksi weight faltering/berat badan kurang dan tata laksana segera.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Stunting, maka pencegahan stunting dimulai dari tingkat Posyandu, yaitu dengan pemberian makanan yang mengandung protein hewani yang cukup. 

Penelitian di 54 negara berkembang pada 2001 menunjukkan bahwa weight faltering dan length deceleration (kenaikan panjang yang tidak adekuat) banyak terjadi pada masa pemberian MPASI. 

Anak yang telah mengalami weight faltering, berat badan kurang, atau gizi kurang harus ditangani di Puskesmas oleh dokter umum. 

Pada anak tersebut, dibutuhkan pemberian makanan terapeutik, misalnya susu formula pertumbuhan. Anak yang telah mengalami stunting harus dirujuk ke Rumah Sakit untuk ditangani dokter anak segera, karena penatalaksanaan stunting memberikan hasil terbaik bila dilakukan sebelum usia 2 tahun.

Terapi untuk anak yang mengalami stunting meliputi pemberian makanan yang mengandung kalori, protein hewani, dan mikroutrien cukup serta pangan keperluan medis khusus (PKMK). Namun, penting untuk diperhatikan bahwa pemberian PKMK harus diresepkan oleh dokter anak karena dosis harus dihitung sesuai dengan kondisi klinis pasien.

“Tata laksana stunting yang dilakukan dokter spesialis anak berupa asuhan nutrisi pediatrik, yang terdiri dari 5 langkah, yaitu penilaian adakah penyakit medis dan status gizi, penentuan kebutuhan /kalori dan protein, penentuan rute pemberian nutrisi, pemilihan jenis nutrisi (makanan padat dan PKMK), serta pemantauan dan evaluasi. Terapi stunting membutuhkan asupan kalori yang cukup dengan protein energy ratio (PER) 10-15%. Pemilihan PKMK didasarkan pada kebutuhan pasien, densitas energi, protein-energy ratio, persyaratan kandungan sukrosa, dan palatabilitas. Persayaratan komposisi PKMK diatur dalam Perka BPOM No. 24 tahun 2020 tentang perbaikan ke-2 Perka No.1 tahun 2018 tentang PKMK. Densitas energi pada PKMK untuk dukungan nutrisi (disebut juga oral nutrition supplement, ONS) minimal 0,9 kkal/mL. Berdasarkan densitas energi, ONS dikategorikan menjadi ONS energi tinggi (1.5 kkal/mL atau lebih) dan ONS energi standar,” jelas Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Klara Yuliarti. (Z-1)

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |