MENIKAH adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidup. Dalam pernikahan, dua individu dengan kepribadian, harapan, dan latar belakang berbeda menyatukan pemikiran. Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus.
Ketika ego tidak dapat dikendalikan atau komunikasi gagal, hubungan yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru berubah menjadi sumber kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindakan yang tidak hanya melukai secara fisik tetapi juga secara emosional, ekonomi, bahkan psikologis. Fakta menunjukkan perempuan sering menjadi korban utama. Lantas, apa itu KDRT?
Pengertian KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) atau dalam bahasa Inggris disebut domestic violence, adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam lingkungan pribadi.
Kekerasan ini seringkali dilakukan seseorang yang memiliki hubungan dekat atau relasi personal dengan korban, seperti suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, atau kakek terhadap cucu. Selain itu, KDRT juga dapat terjadi dalam hubungan pacaran atau dialami pekerja rumah tangga yang tinggal bersama keluarga tersebut.
KDRT mencakup kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dengan korban. Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik, seksual, emosional, atau ekonomi.
Data kasus KDRT di Indonesia
Kasus KDRT di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah laporan kasus KDRT meningkat sebesar 32,15% antara tahun 2019 hingga 2023.
Pada 2019, tercatat 11.783 kasus, pada 2023 dari total 18.466 kasus kekerasan yang dilaporkan, 11.324 kasus (61,3%) merupakan KDRT terhadap perempuan, dengan jumlah korban mencapai 12.158 orang.
Pada 2024, Komnas Perempuan mencatat adanya 34.682 perempuan menjadi korban kekerasan. Angka ini menguatkan fakta perempuan sering kali menjadi sasaran utama dalam berbagai bentuk kekerasan.
Apakah sudah ada peraturan dan kebijakan untuk KDRT?
Sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sejak 16 tahun lalu. UU itu diimplementasikan dalam pencegahan dan penanganan perempuan korban kekerasan.
Undang-undang ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga [UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (2)].
Dalam Pasal 46 UU PKDRT, pelaku yang melakukan perbuatan kekerasan seksual, atau pelaku KDRT akan dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.
Setelah mengetahui peraturan dan pasal hukum terkait KDRT, penting untuk memahami penyebab mendasar yang memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan ini tidak muncul begitu saja, tetapi seringkali dipicu oleh kombinasi berbagai faktor yang berasal dari individu pelaku, hubungan pasangan, atau kondisi lingkungan. Simak faktor penyebab KDRT berikut
Faktor penyebab KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi karena berbagai faktor. Berikut faktor penyebab terjadinya KDRT.
- Ketidakseimbangan Kekuasaan/perbedaan derajat
- Tekanan ekonomi
- Tidak dapat mengendalikan emosi
- Penyalahgunaan Alkohol dan Narkoba
- Budaya patriarki atau menormalisasikan bentuk kekerasan sebagai tindakan sebab akibat.
Faktor penyebab KDRT sebenarnya sangat beragam. Namun, sebanyak apapun penyebabnya, tindakan KDRT tetaplah tidak dapat dibenarkan.
Perilaku ini tidak hanya merugikan secara fisik tetapi juga meninggalkan dampak bagi para korban, terutama perempuan yang sering menjadi target utama. Dampak ini bisa dirasakan dalam aspek kesehatan fisik, psikologis, dan sosial. Berikut adalah beberapa dampak yang ditimbulkan oleh KDRT.
Dampak KDRT
KDRT dapat menyebabkan berbagai dampak serius baik secara fisik maupun psikologis.
Salah satu dampak fisik yang berbahaya adalah cedera otak traumatis akibat pukulan di kepala atau terjatuh, yang sering kali memiliki gejala awal seperti sakit kepala, kebingungan, pusing, mual, kehilangan kesadaran, dan kesulitan berkonsentrasi. Dampak fisik lainnya mencakup memar, luka, patah tulang, cedera organ, pendarahan, penyakit menular seksual, hingga kematian.
Di sisi lain, dampak psikologis atau mental dari KDRT meliputi rasa malu, tidak berdaya, penurunan rasa percaya diri, stres, depresi, kecemasan, hingga gangguan stres pasca trauma (PTSD). Beberapa korban bahkan menghadapi risiko mencoba bunuh diri karena tekanan yang dialami.
Cara mengatasi kekerasan dalam rumah tangga?
KDRT dapat dialami siapa saja, terlepas dari jenis kelamin atau peran dalam keluarga. Mengatasi dan mencegah KDRT membutuhkan langkah tepat, dan dukungan dari pihak profesional.
1. Mencoba membangun toleransi dalam hubungan
Salah satu langkah utama dalam mencegah KDRT adalah menciptakan toleransi di antara dua kepala manusia yang sudah mengikat janji suci. Kedua pihak perlu memahami hubungan yang sehat membutuhkan kedewasaan untuk menerima ketidaksempurnaan satu sama lain.
2. Menjaga komunikasi yang baik
Jika dalam membangun sikap toleran dianggap sulit, mencoba melakukan komunikasi yang baik dapat mengurangi adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Berbicara secara terbuka tentang kebutuhan, keinginan, atau masalah dalam hubungan dapat menjadi solusi efektif untuk menghindari kesalahpahaman.
3. Mencari bantuan profesional
Jika kekerasan sudah terjadi dan begitu parah, menghubungi layanan profesional adalah langkah penting. Di Indonesia, korban dapat menghubungi Komnas Perempuan atau layanan darurat seperti hotline di nomor 129 untuk mendapatkan bantuan.
Selain itu, mengumpulkan bukti kekerasan, seperti foto luka, rekaman percakapan, atau laporan medis, dapat digunakan untuk melaporkan pelaku kepada pihak berwenang.
KDRT adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan cepat. Pernikahan seharusnya menjadi tempat yang aman dan penuh kasih sayang, bukan sumber ketakutan dan penderitaan.
Melalui dukungan, dan penegakan hukum yang tegas, KDRT dapat dicegah dan diatasi. Jika Anda atau orang yang Anda kenal menjadi korban KDRT, jangan ragu untuk mencari bantuan. (ANTARA/Komnas Perempuan/Halodoc/Z-3)