ERA baru kepemimpinan Prabowo-Gibran telah mencanangkan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan tembus di angka 8%. Kendati sebagian kalangan menyebut sebagai target yang ambisius, beberapa strategi tampaknya telah disiapkan untuk mewujudkan capaian tersebut.
Tantangannya terletak pada bagaimana pemerintah dapat memobilisasi potensi dan partisipasi yang lebih luas dari segenap elemen dan pemangku kepentingan untuk menuai harapan tersebut.
Perlunya pelibatan banyak pihak bukan tanpa alasan, mengingat berbagai persoalan di suatu negara kini tidak lagi membiarkan pemerintah berjalan sendirian.
Sebaliknya, pendekatan multipihak (pentahelix), dimana pemerintah, industri, perguruan tinggi, civil society dan kelompok kepentingan lainnya secara kolaboratif dan partisipatif terlibat dalam pengentasan persoalan, termasuk dalam konteks perumusan kebijakan.
Beberapa bulan yang lalu, publik sempat diramaikan dengan terbitnya (PP) 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Isu kontroversial terbitnya beleid tersebut berpusat pada pasal-pasal yang mengatur tentang kesehatan reproduksi remaja sampai pada ketentuan tentang pengendalian zat adiktif produk tembakau yang dinilai semakin eksesif dan restriktif.
Sontak kebijakan ini menuai kritik dari sejumlah kalangan, tidak saja pada aspek substansi pengaturannya, tetapi juga pada aspek formil pembentukannya karena dianggap kurang membuka ruang aspirasi yang memadai. Bahkan, desakan untuk dilakukan perubahan atas beleid tersebut juga tak terelakan.
Dalam negara demokrasi, ruang terbuka yang memungkinkan entitas apapun dapat mengekspresikan idenya sebagai bentuk pelibatannya di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan semestinya disediakan secara memadai.
Robert A. Dahl dalam On Democracy menyebut, salah satu prinsip demokrasi adalah ketersediaan ruang partisipasi yang luas.
Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation menggunakan istilah lain yakni kompetisi yang sehat, keadilan, dan inklusivitas.
Dengan demikian, partisipasi dan pelibatan publik dalam perumusan kebijakan public merupakan keniscayaan (participatory democracy). Prinsip ideal ini perlu diejawantahkan dengan ketersediaan ruang partisipasi yang luas dan inklusif, yang memungkinkan tidak ada pihak yang merasa diabaikan, apalagi ditinggalkan.
Jembatan Kepentingan
Pembentukan kebijakan biasanya kerap diwarnai ragam argumen, silang pendapat yang tidak saja terkait rumusan norma, tetapi juga menyangkut persoalan substansi yang diatur.
Dinamika ini kerap berakar pada fakta adanya gap pengetahuan yang tidak saja terjadi di antara pemangku kepentingan, tetapi juga di kalangan masyarakat luas.
Perbedaan perspektif dan kepentingan semestinya dapat dijembatani dengan adanya hasil riset yang dilakukan secara kolaboratif antarpemangku kepentingan.
Hasil riset ini kemudian dijadikan sebagai basis perumusan kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat mencerminkan realitas persoalan dan kebutuhan yang nyata di lapangan karena didasarkan pada temuan ilmiah. Penggunaan paradigma kebijakan berbasis temuan ilmiah (evidence based policy) juga setidaknya dapat meminimalisir potensi penggunaan basis ideologi politik sebagai landasan kebijakan. Sebaliknya, justru memperkuat posisi fakta dan temuan ilmiah sebagai landasan perumusan kebijakan.
Huw Davies, dkk dalam What Works: Evidence-Based Policy and Practice in Public Services juga mencatat terjadinya perkembangan signifikan di banyak negara ketika lembaga atau organisasi non pemerintah terlibat aktif dalam memberikan masukan dan turut mendinamisir isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Keberadaan mereka menjadi pilar penting dalam memberikan sajian bukti dan fakta ilmiah yang berguna bagi perumusan kebijakan.
Tujuannya adalah memastikan bahwa kebijakan yang diterbitkan pemerintah betul-betul bermanfaat sehingga memiliki derajat efektivitas yang tinggi.
Selain riset kolaboratif, ruang aspirasi yang luas dan inklusif juga dapat dimaknai dengan ketersediaan forum penyamaan persepsi di antara pemangku kepentingan seperti dialog dan diskusi. Langkah ini memungkinkan adanya jalan tengah dari berbagai tarikan kepentingan yang ada.
Ruang aspirasi ini juga bukan sekedar menyediakan sarana pertisipasi yang semu, melainkan sampai pada derajat meaningful participation sehingga kebijakan yang dibentuk betul-betul mencermikan kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok tertentu semata.
Terbitnya PP Nomor 28 Tahun 2024 patut diapresiasi karena dilatari oleh kepentingan pemerintah yang hingga kini masih terus berupaya menekan angka prevalensi merokok. Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa mata rantai industri tembakau sangatlah kompleks.
Keberadaannya tidak hanya menyangkut keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT), tetapi juga menyangkut sektor lain seperti ketenagakerjaan, petani tembakau, UMKM, usaha ritel dan sektor industri lainnya, bahkan juga termasuk sebagai sumber pendapatan negara. Dengan potensi multiplier effect yang cukup luas, selayaknya ruang pelibatan yang luas juga disediakan oleh pemerintah dalam perumusan kebijakan ini.
Validitas Norma Kebijakan
Ikhtiar Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara kesejahteraan (welfarestate) memungkinkan semakin banyaknya lapangan kehidupan yang menjadi domain pengaturan pemerintah.
Terlebih mandat untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg) yang diterima negara, juga meniscayakan semakin banyak pula lahirnya kebijakan bentuk peraturan perundang-undangan.
Tantangannya adalah sejauh mana kebijakan yang dilahirkan memiliki validitas dan legitimasi yang kuat, tidak saja menyangkut derajat konstitusionalitasnya tetapi juga menyakut efektivitas daya lakunya di masyarakat.
Konsep yang berlaku untuk menguji suatu validitas norma biasanya dikaitkan dengan stufenbau theory yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Kelsen berpandangan, sistem hukum diandaikan sebagai sistem norma yang saling terkait (interlocking norms) yang bergerak secara berjenjang (hirarkis) dari norma yang umum (the most general ought) menuju norma yang lebih konkret (the most particular or concrete).
Norma hukum yang paling rendah harus selaras-sejalan dengan norma hukum yang ada di atasnya. Artinya validitas suatu norma peraturan perundang-undangan didasarkan pada norma peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.
Jika demikian, sudah selayaknya setiap peraturan pelaksana dari suatu undang-undang tidak merumuskan norma yang keluar dari makna yang dikehendakan norma dari suatu undang-undang.
Pasal 149 ayat 4 UU Kesehatan sejatinya telah merekognisi kehadiran produk berdasarkan profil risiko kesehatan, namun rumusan norma yang ada di dalam PP 28/2024 justru tidak merepresentasikan pengakuan terhadap perbedaan profil risiko.
Pengabaian terhadap amanat UU 17 Tahun 2023 ini ditambah dengan upaya mendorong adanya ketentuan tentang penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas dalam kebijakan turunan dari PP 28/2024, sehingga tidak selaras dengan prinsip perlindungan hak merek (UU 20 Tahun 2016).
Bahkan, ketentuan ini berlaku secara gebyah uyah untuk semua jenis produk tembakau dan rokok elektronik, meski berdasarkan temuan ilmiah, rokok elektronik memiliki profil rendah risiko dibandingkan dengan produk rokok dengan proses pembakaran.
Semangat UU 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan masih merekognisi perlindungan hak merek meski ditentukan hanya 50 %. Alih-alih menselaraskan norma hukum di atasnya, ketentuan yang diatur dalam kebijakan turunan dari PP 28/2024 justru keluar dari makna yang dikehendaki UU 17 Tahun 2023.