Liputan6.com, Jakarta Pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait penghapusan mekanisme kuota impor komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak dinilai sebagai langkah tegas dalam menghapus distorsi dan memastikan kelancaran perdagangan.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah menyebutkan bahwa arahan Presiden ini penting untuk memastikan rakyat mendapatkan akses terhadap kebutuhan pokok tanpa hambatan administratif yang tidak perlu.
Namun, Trubus mengingatkan agar arahan Presiden tidak dimaknai secara parsial.
"Arahan Presiden ini tidak bisa dibaca sebagai dalih untuk memberi keleluasaan tak terbatas kepada segelintir pemain pasar yang justru dapat mengancam ketahanan energi nasional," kata Trubus dalam keterangan pada Rabu (17/9/2025).
Kasus yang kini mengemuka, menurutnya adalah desakan sejumlah badan usaha (BU) swasta pemilik SPBU agar pemerintah kembali membuka kuota impor tambahan. Mereka berdalih stok BBM telah habis. Padahal kuota impor tahun ini sudah dinaikkan 10 persen dibandingkan 2024, dan realisasi impor bahkan mencapai 110 persen.
"Artinya, mereka telah diberikan ruang ekstra dari pagu awal. Fakta bahwa stok bisa habis sebelum akhir tahun seharusnya menjadi pelajaran penting bagi industri untuk melakukan perencanaan logistik yang lebih baik, bukan sekadar mendesak pemerintah membuka keran impor lebih lebar," ujarnya.
Menjaga Keseimbangan Kepentingan
Dalam perspektif kebijakan publik, Trubus menyebutkan bahwa pemerintah harus menyeimbangkan tiga kepentingan utama yaitu konsumen, pelaku usaha, dan kepentingan nasional.
"Konsumen harus mendapat pasokan BBM yang cukup dan harga stabil. Pelaku usaha mendapat level playing field antara Pertamina dan BU swasta, yang memang sedang mengalami pertumuhan pangsa pasar. Kepentingan nasional yang lebih besar memastikan pengelolaan energi tidak lepas kendali dan tidak terlalu bergantung pada impor," jelasnya.
Arahan Kementerian ESDM agar BU swasta membeli BBM dari Pertamina atau melakukan impor melalui Pertamina dinilai sejalan dengan kerangka kebijakan Presiden.
"Kebijakan ini bukan bentuk diskriminasi atau upaya monopoli, melainkan konsolidasi pasokan agar volume, kualitas, dan pembiayaan tetap berada dalam kendali nasional," jelas Trubus.
"Pendekatan ini juga menghindari fragmentasi impor yang bisa menimbulkan inefisiensi dan potensi disparitas harga di lapangan," tambahnya.
Narasi Publik dan Kontrol Pasar
Trubus menyoroti perkembangan market share BU swasta saat ini sudah mencapai 11 persen dan terus tumbuh. Kondisi ini membuat mereka mampu membangun narasi dan bahkan memengaruhi percakapan publik di media sosial.
"Bila diberikan tambahan kuota impor tanpa mekanisme kontrol, porsi pasar ini bisa meluas lebih cepat dan justru mengurangi kemampuan negara untuk menjaga cadangan strategis nasional," tegasnya.
Di mata Trubus, kondisi saat ini yang menjadi kekhawatiran sebagian pengambil kebijakan. Sektor energi yang merupakan urat nadi perekonomian jangan sampai dikendalikan oleh kekuatan pasar tanpa arah yang jelas.
"Kebijakan energi harus berorientasi jangka panjang, bukan reaktif terhadap desakan pasar atau opini sesaat," jelasnya
Trubus menegaskan bahwa pemerintah perlu konsisten terhadap arahan Presiden yakni menghapus kuota diskriminatif, tetapi tetap menjaga agar kebijakan impor terkoordinasi dalam satu tata kelola energi nasional.
Rekomendasi Kebijakan
Trubus menyarankan beberapa langkah untuk memperkuat konsistensi kebijakan energi.
Pertama, meningkatkan transparansi data pasokan, impor, dan kebutuhan BBM agar publik tidak mudah termakan isu kelangkaan buatan.
Kedua, mengembangkan mekanisme joint procurement yang memungkinkan BU swasta ikut melakukan impor, namun tetap melalui koordinasi bersama Pertamina untuk efisiensi logistik dan pengendalian harga.
Ketiga, memperkuat komunikasi publik agar kebijakan ini ini tidak dipersepsikan sebagai proteksi terhadap BUMN semata, melainkan sebagai langkah menjaga ketahanan energi dan menghindari risiko pasokan di masa depan
Keempat, terus memantau pangsa pasar dan perilaku BU swasta agar pertumbuhan mereka tetap berada dalam koridor persaingan yang sehat, tanpa mengorbankan peran strategis negara.
"Pemerintah tidak sedang memusuhi sektor swasta. Justru, kebijakan ini adalah upaya menata pasar agar lebih sehat, transparan, dan efisien. Dalam jangka panjang, keterlibatan swasta penting untuk layanan dan inovasi, tetapi tetap harus berada dalam kerangka tata kelola nasional yang ketat," kata Trubus.
Ia menegaskan, kebijakan mendorong BU swasta membeli dari Pertamina tidak bertentangan dengan arahan Presiden untuk menghapus kuota impor.
"Sebaliknya, ini adalah implementasi nyata dari prinsip free flow of goods yang terkendali, demi kepastian pasokan, stabilitas harga, dan kedaulatan energi Indonesia," pungkasnya.
(*)