Liputan6.com, Jakarta Seiring percepatan transformasi digital, Indonesia kini berhadapan dengan ancaman siber yang semakin nyata dan kompleks. Serangan siber tidak lagi terbatas pada isu teknis, melainkan sudah menimbulkan dampak langsung pada skala nasional.
Gangguan pada infrastruktur vital seperti jaringan listrik dapat melumpuhkan aktivitas industri dan rumah tangga, serangan pada sistem perbankan bisa menghambat transaksi keuangan masyarakat, sementara kebocoran data pada layanan publik berisiko merusak kepercayaan terhadap institusi pemerintah.
Situasi ini menunjukkan bahwa ketahanan siber bukan sekadar kebutuhan teknologi, melainkan fondasi penting bagi stabilitas ekonomi, dan keberlangsungan hidup masyarakat sehari-hari.
Direktur Spentera, Royke L. Tobing mengatakan, bahwa isu siber tidak dapat dipandang hanya dari sisi teknologi.
“Ancaman siber bersifat multidimensi. Dampaknya bukan hanya pada infrastruktur saja, tetapi juga pada kepercayaan publik, ekonomi, hingga stabilitas nasional. Yang dibutuhkan adalah tata kelola yang kuat, kolaborasi lintas sektor, dan peningkatan kapasitas SDM agar Indonesia lebih siap menghadapi dinamika ini,” jelas Royke, Selasa (16/9/2025).
Dia menjelaskan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/Machine Learning) di Indonesia terus meluas, mulai dari sektor finansial, e-commerce, telekomunikasi, layanan publik, hingga pertahanan.
Ketergantungan pada Teknologi Impor
Namun, di balik peluang besar yang ditawarkan, terdapat tantangan baru yang perlu diperhatikan, khususnya terkait keamanan dan keandalan sistem. Risiko bisa muncul jika model atau data yang digunakan tidak diverifikasi secara menyeluruh, sehingga membuka kemungkinan adanya celah yang dimanfaatkan pihak tertentu.
Ketergantungan pada teknologi impor tanpa pengujian ketat berpotensi meningkatkan risiko tersebut. Karena itu, penguatan tata kelola, standar keamanan, serta kemandirian dalam pengembangan AI menjadi langkah penting agar teknologi ini benar-benar mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga kepentingan strategis nasional.
Tantangan Kesiapan Tanggap Insiden
Di luar kerentanan teknis, kesiapan organisasi dalam menangani serangan siber di Indonesia masih menghadapi tantangan. Deteksi dan respon insiden sering kali memakan waktu, pencatatan forensik digital belum konsisten, serta koordinasi antar unit yang terlibat kerap berjalan secara terpisah. Kondisi ini membuat proses pemulihan krisis tidak selalu berjalan efektif, terlebih ketika serangan bersifat kompleks.
Peristiwa ransomware pada Pusat Data Nasional tahun 2024 menjadi pengingat penting akan dampak luas jika respons terhadap serangan tidak cepat dan terkoordinasi. Insiden tersebut menekankan perlunya peningkatan kapasitas, simulasi insiden secara berkala, serta penguatan tata kelola agar Indonesia lebih siap menjaga keberlangsungan layanan publik yang vital.
Kolaborasi Sebagai Kunci
Kombinasi kerentanan pada infrastruktur energi, risiko dalam pemanfaatan AI, serta keterbatasan kesiapan tanggap insiden menunjukkan perlunya langkah bersama agar Indonesia lebih siap menghadapi dinamika ancaman siber.
Mengingat vitalnya jaringan listrik Jawa–Bali bagi ekonomi nasional, besarnya data digital yang dikelola, serta meningkatnya ketergantungan pada teknologi, pemerintah dan publik didorong untuk memperkuat tata kelola keamanan siber, melakukan audit pada infrastruktur kritis, serta meningkatkan kapasitas SDM di sektor strategis seperti energi, keuangan, dan pemerintahan.
Pada akhirnya, menjaga ketahanan digital Indonesia bukan sekadar upaya teknis, melainkan komitmen bersama. Dengan kolaborasi yang erat, standar keamanan yang konsisten, serta investasi berkelanjutan pada sumber daya manusia, Indonesia dapat memanfaatkan peluang transformasi digital sekaligus melindungi kepentingan nasional termasuk terkait ekonomi di tengah lanskap siber yang semakin kompleks.