Kasus Dugaan Kartel Fintech Berpotensi Hambat Masuknya Investor Asing

2 weeks ago 20

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI, Ditha Wiradiputra, mengatakan sidang dugaan praktik kartel di industri fintech yang tengah berlangsung di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bisa berpotensi menghambat masuknya investor asing.

Menurut Ditha, perkara persaingan usaha di KPPU memiliki bobot yang cukup besar di mata investor internasional. Mereka menilai proses hukum semacam ini bisa memengaruhi stabilitas industri dan kepastian hukum di Indonesia.

"Kita perlu hati-hati. Persidangan ini masih berjalan. Komisioner KPPU belum memberikan keputusan final. Jadi, jangan sampai publik menganggap sudah pasti ada pelanggaran. Kalau kasus ini dibesar-besarkan sebelum ada putusan, bisa memengaruhi kepercayaan investor,” kata Ditha dalam konferensi pers AFPI, di Jakarta, Rabu (27/8/2015).

Ia bercerita, pengalaman serupa juga pernah terjadi di sektor lain. Ia menuturkan, seorang direktur utama perusahaan pelabuhan pernah bercerita kepadanya investasi miliaran rupiah tertunda hanya karena perusahaan tersebut sedang berperkara di KPPU. Situasi ini menggambarkan betapa besar efek domino dari kasus persaingan usaha.

Kasus Dugaan Kartel

“Saya pernah bertemu seorang Direktur Utama perusahaan pelabuhan. Ia bercerita bahwa gara-gara perusahaannya berperkara di KPPU, investasi miliaran rupiah dari luar negeri tertunda. Investor asing menganggap perkara KPPU itu serius. Jadi mereka menunggu sampai ada putusan sebelum menanamkan modal,” ungkapnya.

Adapun kondisi serupa berpotensi terulang di industri fintech saat ini. Jika kasus dugaan kartel ini tidak dikelola dengan hati-hati, reputasi fintech Indonesia di mata global bisa terganggu. Padahal, sektor ini tengah menjadi salah satu pendorong utama inklusi keuangan dalam negeri.

"Hal semacam ini yang harus kita waspadai agar jangan sampai isu yang masih di tahap persidangan ini dianggap sudah final,” ujarnya.

Pedoman Bunga Pinjol Jadi Perdebatan

Ditha menuturkan, kasus yang bergulir di KPPU bermula dari pedoman perilaku yang disusun Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada 2019. Dalam pedoman itu, ditetapkan batas bunga pinjaman maksimal 0,8% per hari. Tujuan awalnya adalah merespons praktik bunga pinjol yang kala itu bisa mencapai 2–3% per hari dan menimbulkan fenomena predatory lending.

"Pedoman Perilaku yang dibuat oleh AFPI pada tahun 2019. Dalam pedoman tersebut, diatur larangan mengenakan bunga pinjaman di atas 0,8% per hari. Artinya, perusahaan anggota AFPI tidak boleh mengenakan bunga lebih dari 0,8% kepada pengguna dana, tetapi kalau ingin mengenakan bunga di bawah itu, boleh saja,” jelasnya.

Namun, KPPU menilai pedoman ini sebagai bentuk perjanjian penetapan harga (price fixing). Tuduhan tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan akademisi hukum persaingan usaha. Pasalnya, price fixing biasanya diartikan sebagai kesepakatan tertutup antarperusahaan untuk menyamakan harga, bukan aturan terbuka dari sebuah asosiasi.

Menjaga Kepercayaan Investor

Menurut Ditha, penting bagi semua pihak untuk tidak terburu-buru menyimpulkan adanya pelanggaran sebelum KPPU mengeluarkan keputusan final. Jika publik atau media terlalu cepat menganggap fintech bersalah, dampaknya bisa langsung terasa pada kepercayaan investor.

Ia menekankan, dalam kasus-kasus persaingan usaha, reputasi perusahaan menjadi taruhan utama. Investor global tidak hanya melihat laporan keuangan, tetapi juga rekam jejak hukum dan regulasi yang melingkupi sebuah sektor. Karena itu, proses hukum yang panjang bisa berpengaruh besar pada iklim investasi.

"Persidangan ini masih berjalan. Komisioner KPPU belum memberikan keputusan final,” pungkasnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |