BALAS budi politik dalam kontestasi menjadi satu hal lumrah dengan memberi jabatan menteri hingga tenaga ahli dan jabatan lain. Adapun aspek profesionalisme, kompetensi, dan kemampuan teknis menjadi pertimbangan sekunder. Akibatnya, elektoral berpotensi kehilangan kredibilitas dan setiap pemimpin diragukan integritasnya.
Manajemen SDM yang demikian acap memperburuk efisiensi pemerintah, terutama ketika ada aktor yang tidak memiliki keahlian di bidangnya diberi tanggung jawab untuk memimpin kementerian atau badan penting.
Pada 20 Oktober lalu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Keesokan harinya, Selasa (21 Oktober), Presiden melantik jajaran menteri dan wakil menteri dalam Kabinet Merah Putih, yang mencatat sejarah baru dengan total anggota sebanyak 109 orang. Terdiri dari 7 menteri koordinator (menko), 41 menteri, 5 kepala lembaga, dan 56 wakil menteri. Sebelumnya, Kabinet Indonesia Maju hanya beranggotakan 60 orang, meliputi 34 menteri, 18 wakil menteri, dan 8 pejabat setingkat menteri.
Penambahan jumlah menteri di kabinet Prabowo tersebut terjadi setelah revisi Undang-Undang Kementerian Negara yang sebelumnya membatasi jumlah kementerian maksimal 34. Dengan demikian, Kabinet Merah Putih menjadi kabinet dengan jumlah anggota terbanyak sejak era Orde Baru hingga Reformasi. Selain itu, Presiden Prabowo juga turut dibantu oleh sejumlah utusan khusus dan penasihat khusus, yang merupakan hal baru dari kabinet sebelumnya.
MI/Seno
Postur kabinet di Indonesia
Sejak awal kemerdekaan, postur kabinet Indonesia menjadi cerminan dari kompleksitas politik. Pada kabinet pertama Indonesia, menteri-menteri yang terpilih berasal dari berbagai latar belakang dan pandangan politik yang bertolak belakang. Hal ini mencerminkan semangat keberagaman, tetapi menghadirkan tantangan dalam mencapai keselarasan.
Memasuki era Orde Baru, konfigurasi kabinet berubah drastis. Golkar, sebagai kekuatan politik dominan, mengisi sebagian besar kursi kabinet. Namun, keseragaman pandangan politik di kabinet tersebut tidak serta-merta menjadikan pemerintahan efektif. Sebaliknya, muncul budaya birokrasi yang dikenal sebagai asal bapak senang (ABS), di mana efisiensi kerja digantikan oleh kepatuhan semu demi mempertahankan kekuasaan.
Setelah Reformasi, pembentukan kabinet kembali sarat nuansa bagi-bagi kursi. Alasannya menjaga keutuhan bangsa di tengah perbedaan. Tradisi ini berlanjut hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, di mana konsep 'kabinet pemersatu' menjadi status quo untuk menciptakan kementerian-kementerian baru. Dengan jumlah kementerian yang bertambah, alokasi 'kue kekuasaan' juga semakin besar, yang tidak jarang memperbesar peluang inefisiensi.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999 membubarkan dua kementerian penting di era Orde Baru, yakni Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Gus Dur berpendapat bahwa peran negara dalam dua sektor tersebut sebaiknya dikurangi, memberikan ruang lebih besar bagi masyarakat untuk berperan aktif. Meskipun niatnya menarik, kebijakan ini memicu protes luas karena kedua kementerian tersebut dianggap telah mengakar kuat dalam struktur pemerintahan. Akhirnya, pemerintahan setelah Gus Dur menghidupkan kembali kedua kementerian tersebut.
Dari sudut pandang sejarah, perampingan, penggemukan, reorganisasi, dan restrukturisasi kabinet bukanlah hal baru di Indonesia. Jumlah kementerian selalu berubah dari satu periode ke periode lainnya, bergantung pada kebutuhan politik dan ekonomi. Namun, persoalan utama yang perlu diperhatikan bukan hanya jumlah kementerian atau menteri, melainkan juga efisiensi, integritas, dan kejelasan fungsi dari setiap kementerian.
Struktur Kabinet Merah Putih
Prabowo menambahkan empat kementerian koordinator baru, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan; Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan; Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat; dan Kementerian Koordinator Bidang Pangan. Sebaliknya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di era Jokowi dihapus.
Setiap kementerian di kabinet Prabowo memiliki wakil menteri. Total wakil menteri mencapai 56 orang, ini meningkat drastis dari kabinet Jokowi yang hanya memiliki 18 wakil menteri.
Kemudian, Prabowo menciptakan posisi utusan khusus dan penasihat khusus masing-masing sebanyak tujuh orang, totalnya 14. Posisi ini diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024. Utusan dan penasihat khusus bertugas menjalankan mandat tertentu dari presiden di luar tugas kementerian dan instansi pemerintahan.
Kabinet Merah Putih juga membentuk tiga badan baru untuk mendukung program pemerintah, yaitu Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, dan Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus. Pembentukan badan-badan ini bertujuan meningkatkan efektivitas pelaksanaan program strategis pemerintah.
Penambahan jumlah kementerian dalam Kabinet Merah Putih, yang kini banyak dipecah menjadi dua hingga tiga kementerian, berpotensi menyebabkan pembengkakan anggaran dan tumpang tindih kewenangan. Kemudian, muncul permasalahan dalam proses integrasi tugas di setiap kementerian hingga memerlukan waktu lama untuk beradaptasi. Dalam target capaian 100 hari kerja pertama setelah pelantikan, tumpang tindih fungsi ini berdampak pada kinerja pemerintahan yang tidak maksimal karena adanya benturan fungsional antar-lembaga.
Tantangan integrasi kebijakan
Struktur baru Kabinet Merah Putih dikritik sebagai bentuk: penggemukan' birokrasi yang membutuhkan waktu panjang untuk mencapai efisiensi. Menurut Suko Widodo, pakar komunikasi politik Universitas Airlangga, semakin besar birokrasi, semakin sulit pula mencapai efektivitas. Ia menegaskan bahwa birokrasi yang ramping cenderung lebih unggul ketimbang struktur yang gemuk.
Penambahan kementerian juga berisiko menambah kerumitan koordinasi antar-lembaga. Dampaknya tidak hanya dirasakan di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat daerah. Bertambahnya lembaga di tingkat daerah dapat memperburuk koordinasi antar-instansi, yang pada akhirnya menghambat pencapaian tujuan pemerintah secara keseluruhan.
Pembentukan kabinet secara mayor oleh pemerintahan Prabowo Subianto dinilai berisiko mengganggu efektivitas pemerintahan, terutama di daerah-daerah. Wilayah yang baru dimekarkan menghadapi tantangan besar dalam membangun organisasi perangkat daerah (OPD) yang masih rapuh dan kurang siap untuk mendukung kebutuhan lokal.
Perhatian publik terhadap kabinet Merah Putih tidak hanya tertuju pada pemerintah pusat, tetapi juga pada daerah-daerah dengan birokrasi yang belum efisien. Papua, misalnya, mengalami kesulitan dalam restrukturisasi OPD yang semakin diperumit oleh struktur birokrasi pusat yang kompleks. Hal ini menghambat komunikasi, koordinasi, dan implementasi kebijakan yang sesuai kebutuhan lokal.
Contoh teknis dalam pembentukan daerah otonomi baru (DOB) membawa tantangan dalam reformasi birokrasi, seperti perencanaan yang belum optimal, pengelolaan keuangan daerah yang tidak transparan, pengadaan barang dan jasa yang rentan penyimpangan, serta lemahnya akuntabilitas dan pengendalian internal pemerintah.
Kondisi ini diperburuk oleh masalah sosial-ekonomi, seperti tingginya angka kelaparan dan kemiskinan. Selain itu, karakteristik aparatur sipil negara (ASN) berbeda di setiap wilayah lain di Indonesia. Banyak keputusan birokrasi harus mempertimbangkan keselarasan dengan adat dan norma kesukuan setempat, sehingga menghambat proses pengambilan keputusan karena kebijakan harus melalui diskusi panjang dengan pemangku adat.
Risiko utama dari pembentukan kabinet ialah munculnya kebijakan berlapis yang justru memperburuk efektivitas birokrasi di daerah, terutama di provinsi baru. OPD yang rapuh, ASN yang harus menyesuaikan dengan adat lokal, serta lambatnya proses pengambilan keputusan akan semakin terbebani oleh kebijakan pusat yang tidak spesifik dan tidak relevan.
Efektivitas standar pelayanan publik
Pelayanan publik merupakan inti dari keberadaan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (Pasal 1 ayat 1 UU No. 25 Tahun 2009), termasuk dalam bentuk barang, jasa, dan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara layanan. Namun, hingga saat ini, persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik jauh dari harapan, contohnya dalam hal integrasi layanan, yang notabenenya masyarakat kerap mengulang administrasi yang sama antar-lintas instansi.
Dengan kondisi di atas dan penambahan jumlah pejabat di kabinet, muncul ekspektasi bahwa akan ada peningkatan responsivitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Namun, tantangan-tantangan berikut disesuaikan dengan kebijakan OPD secara hierarkis.
Kurangnya pemahaman terhadap UU No 25 Tahun 2009 dan Permenpan No 36 Tahun 2012 menjadi salah satu masalah untuk efisiensi birokrasi. Di sisi lain, komitmen pimpinan yang lemah juga menjadi hambatan serius. Jumlah pejabat yang lebih banyak tidak menjamin adanya kepemimpinan yang mendorong pelayanan lebih baik. Tanpa kepemimpinan yang memberikan teladan dan fokus pada pencapaian target pelayanan, kualitas pelayanan publik tidak berubah signifikan.
Langkah strategis yang dapat dilakukan, antara lain, optimalisasi struktur kabinet dengan memastikan setiap posisi memiliki fungsi yang jelas dan relevan untuk mendukung pelayanan publik. Selain itu, peningkatan kapasitas SDM melalui rekrutmen, pelatihan, dan promosi berbasis meritokrasi harus diterapkan agar pejabat yang menduduki posisi strategis kompeten dan berintegritas. Penerapan standar pelayanan publik yang mencakup sistem, mekanisme, dan prosedur juga menjadi prioritas, dengan melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan untuk menciptakan tolok ukur yang jelas.
Kemudian, manajemen koordinasi dan komitmen pimpinan juga penting, di mana setiap pimpinan kabinet harus berperan sebagai motor penggerak reformasi pelayanan publik dengan menunjukkan kebijakan yang proaktif, ditambah dengan sistem pengawasan internal dan eksternal diperlukan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pelayanan publik berjalan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Reformasi birokrasi Kabinet Merah Putih
Saat ini, reformasi birokrasi menjadi kebutuhan mendesak dalam meningkatkan efektivitas pemerintahan pusat dan daerah. Reformasi harus diarahkan untuk menciptakan tata kelola yang efisien di tengah struktur kabinet yang melibatkan banyak kementerian dan posisi strategis. Dalam konteks ini, reformasi tidak hanya menjadi kebutuhan teknis, tetapi juga langkah politik strategis untuk memastikan kabinet tetap fokus pada pencapaian good governance tanpa terjebak alasan adaptasi birokrasi dan tumpang tindih fungsi.
Perhatian yang perlu ditingkatkan ada pada pola pikir birokrat dan komitmen pemimpin. Misalnya banyak birokrat yang menempatkan diri mereka sebagai penguasa, bukan sebagai pelayan publik. Hal ini tecermin dari pelayanan yang lambat, prosedur yang berbelit-belit, serta budaya afiliasi yang kuat, yang akan meruntun terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kemudian, tanpa adanya komitmen yang kuat dari pemimpin, sulit untuk mewujudkan modernisasi birokrasi. Pemimpin yang memiliki visi reformasi diharapkan mampu menerapkan sistem informasi yang modern, menyederhanakan prosedur yang rumit, serta mempercepat pelayanan publik. Dengan komitmen yang kuat tersebut, pemimpin dapat mendorong terciptanya good governance dan clean government di lingkungan kerjanya masing-masing.
Hingga saat ini, masih terdapat kabupaten/kota yang belum melaksanakan reformasi birokrasi secara prosedural. Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah langkah strategis untuk menata sistem penyelenggaraan pemerintahan agar menjadi lebih bersih, efektif, dan efisien. Namun, tantangan dalam implementasi reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada pola pikir dan komitmen pemimpin, tapi juga diperkuat oleh isu-isu struktural yang muncul dalam birokrasi, seperti korupsi yang tetap menjadi masalah utama, terutama dalam konteks fenomena penggemukan kabinet.
Korupsi tetap menjadi masalah utama dalam birokrasi Indonesia dan semakin relevan dengan fenomena penambahan jumlah kementerian. Banyaknya posisi strategis di kabinet berpotensi meningkatkan risiko korupsi, baik dalam pengelolaan anggaran maupun dalam pengambilan keputusan. Dalam struktur kabinet yang tidak efektif, penyalahgunaan kekuasaan dapat lebih mudah terjadi sehingga reformasi harus memperkuat transparansi dan akuntabilitas di setiap lini pemerintahan.
Birokrasi yang lambat sering kali menjadi penghambat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan kabinet yang lebih besar, proses administrasi cenderung semakin kompleks, memperlambat pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada masyarakat. Reformasi birokrasi harus memastikan bahwa perluasan kabinet tidak mengurangi efisiensi pemerintahan, melainkan mempercepat pelaksanaan program strategis.
Tata kelola organisasi yang baik menjadi kunci dalam menciptakan kabinet yang efektif. Namun, penggemukan kabinet sering kali tidak diikuti dengan pembagian kewenangan yang jelas, baik di tingkat pusat maupun daerah. Reformasi birokrasi harus memastikan desentralisasi kewenangan dilakukan secara bijak sehingga fungsi organisasi tidak tumpang tindih.