Ini Solusi Biar Indonesia Lepas Ketergantungan Impor BBM

8 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta Direktur Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Imaduddin Abdullah menilai sektor ketenagalistrikan menjadi solusi kunci guna memperkuat ketahanan energi nasional di tengah ketidakpastian yang memengaruhi pasokan energi dunia.

“Sektor ketenagalistrikan bisa menjadi solusi Indonesia dari ketergantungan terhadap impor BBM. Terutama dari kawasan Timur Tengah yang penuh konflik, menimbulkan risiko tinggi terhadap pasokan dan fluktuasi harga energi,” katanya dikutip Selasa (8/7/2025).

Ketergantungan itu, jelasnya, juga diperberat oleh depresiasi Rupiah dan rendahnya kapasitas produksi minyak dalam negeri.

“Produksi minyak tidak mampu mengimbangi kebutuhan energi domestik. Kombinasi masalah tersebut menciptakan kerentanan bagi sistem energi nasional,” katanya.

Untuk itu, Pemerintah perlu mendorong diversifikasi sumber energi dengan menitikberatkan pada pengembangan sektor ketenagalistrikan.

Dalam paparannya, upaya elektrifikasi terhadal berbagai sektor seperti industri, transportasi, hingga rumah tangga menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi berbasis impor.

“Ketika konsumsi listrik meningkat secara signifikan, hal itu mampu menciptakan efek domino positif, mulai dari peningkatan investasi pada energi terbarukan hingga terbentuknya ekosistem energi yang tangguh dan berkelanjutan,” ujarnya.

Permintaan Listrik Meningkat

Peningkatan permintaan listrik akibat elektrifikasi tersebut, kata Imaduddin, menjadi daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di sektor energi bersih dan modern.

Dengan demikian, sektor ketenagalistrikan bukan hanya menjawab tantangan jangka pendek, tetapi juga membuka jalan menuju masa depan energi nasional yang lebih aman dan kompetitif.

“Optimalisasi ketenagalistrikan tak hanya memperkuat fondasi energi nasional, tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan memperbesar daya saing Indonesia di kancah global,” pungkasnya.

Ekonom Sebut Subsidi Listrik Perlu Diatur Ulang

Sebelumnya, pemerintah mengusulkan subsidi listrik 2026 sebesar Rp 97,37 triliun-Rp 104,97 triliun. Subsidi listrik ini naik dibandingkan 2025 sebesar Rp 87,72 triliun.

Jika realisasi kurs melemah ke Rp16.900 per dolar AS dan ICP bertahan di USD 80 per barel, subsidi bisa melambung hingga Rp105 triliun.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai angka tersebut sangat besar, setara hampir 5% dari total belanja negara untuk kesehatan dan pendidikan di RAPBN.

Namun, yang ia pertanyakan apakah tambahan subsidi listrik sebesar itu akan membantu mereka yang benar-benar membutuhkan yaitu masyarakat miskin dan rentan atau justru dinikmati kelompok menengah-atas yang memiliki daya beli lebih tinggi.

"Pertanyaan ini bukan sekadar menyoal angka anggaran, melainkan menyoal keadilan distribusi fiskal dan efektivitas kebijakan publik kita," ujar Achmad, di Jakarta, Senin (7/7/2025).

Berdasarkan data World Bank (2017) dan Asian Development Bank (2021) menunjukkan 40% rumah tangga terkaya (desil 7–10) menikmati 50–60% subsidi listrik, sedangkan 40% rumah tangga termiskin hanya menikmati sekitar 20–25% subsidi.

"Mengapa bisa demikian? Karena desain subsidi kita berbasis tarif dan golongan, bukan berbasis kondisi sosial ekonomi riil," ujarnya.

Sebagai contoh, banyak rumah tangga kaya di perumahan elite yang masih menggunakan golongan subsidi 900VA atau bahkan 450VA dengan nama kerabat atau staf rumah tangga mereka.

Di sisi lain, rumah tangga miskin di wilayah rural terpencil kerap belum teraliri listrik PLN sama sekali, atau jika pun ada, konsumsinya sangat kecil sehingga subsidi yang mereka nikmati pun minimal.

Perlunya Reformasi Subsidi Listrik

Untuk menjawab persoalan ini, menurut dia, Pemerintah perlu meninjau struktur konsumsi listrik masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Susenas (2022) menunjukkan konsumsi listrik rumah tangga miskin (desil 1–2) rata-rata 40–60 kWh per bulan, dengan proporsi belanja listrik mencapai 2–4% dari total konsumsi mereka.

Sementara itu, kelompok menengah (desil 3–7) mengonsumsi 80–150 kWh per bulan, dan kelompok kaya (desil 8–10) mengonsumsi hingga 250–400 kWh per bulan.

Namun proporsi belanja listrik terhadap total pengeluaran justru turun pada kelompok kaya, yakni hanya 1,5–3%, karena total konsumsi mereka sangat besar.

"Artinya, tambahan subsidi listrik Rp105 triliun akan dinikmati lebih besar oleh kelompok menengah-atas, meskipun bagi mereka, manfaat tambahan itu tidak signifikan terhadap kesejahteraan," ujarnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |