Liputan6.com, Jakarta - Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan, bahwa pihaknya sedang memproses perizinan kelembagaan untuk perusahaan induk konglomerasi keuangan atau PIKK sebagai tindak lanjut dari POJK Nomor 30 Tahun 2024.
"OJK sedang memproses perizinan dalam rangka penetapan kelembagaan perusahaan induk konglomerasi keuangan yang disingkat PIKK. Sebagai tindak lanjut POJK nomor 30 tahun 2024 tentang konglomerasi keuangan dan PIKK," kata Mahendra dalam Konferensi Pers RDKB Juni 2025, Selasa (8/7/2025).
Langkah ini menjadi penting karena struktur konglomerasi keuangan di Indonesia dinilai semakin kompleks dan melibatkan banyak entitas lintas sektor.
Untuk itu, OJK menilai perlunya pengawasan terintegrasi agar risiko bisa dikelola secara menyeluruh dan tidak menimbulkan efek domino pada stabilitas sistem keuangan.
Menurut Mahendra, kehadiran PIKK akan menjadi instrumen penting dalam memperkuat konsolidasi tata kelola dan manajemen risiko di dalam grup usaha keuangan.
Selain itu, OJK juga tengah menyusun Rancangan POJK (RPOJK) tentang penerapan tata kelola terintegrasi bagi PIKK. Regulasi ini akan menjadi kerangka hukum yang jelas bagi pengelolaan risiko lintas sektor.
"Serta sedang menyusun RPOJK tentang penerapan tata kelola terintegrasi bagi PIKK," ujarnya.
OJK Minta Lembaga Keuangan Siaga Risiko Global
Di sisi lain, Mahendra menyoroti dampak serius dari kebijakan tarif impor terbaru yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, OJK meminta seluruh lembaga jasa keuangan untuk meningkatkan kewaspadaan dan melakukan asesmen berkala terhadap dampak lanjutan dari ketegangan global. Penilaian risiko yang tepat dan cepat dianggap penting agar industri keuangan tidak terlambat mengambil langkah mitigasi.
"OJK juga meminta lembaga Jasa Keuangan untuk meneruskan dan melakukan assesment atas perkembangan terkini dan melakukan assesment lanjutan, sehingga diharapkan mampu mengambil langkah antisipatif untuk memitigasi potensi peningkatan resiko," ujar Mahendra.
Dampak Penerapan Tarif Impor AS Terhadap RI
Lebih lanjut, Mahendra menyampaikan bahwa keputusan penerapan tarif impor sebesar 32% berpotensi menekan kinerja ekspor nasional, terutama produk-produk unggulan yang selama ini menjadi andalan di pasar global.
Kebijakan tarif tersebut hadir di tengah upaya pemulihan ekonomi global yang masih dibayangi oleh ketegangan geopolitik, seperti konflik di Timur Tengah. Kombinasi tekanan eksternal ini menimbulkan risiko berlapis bagi perekonomian nasional yang sangat bergantung pada ekspor sektor-sektor strategis.
"Ketidakpastian perdagangan utamanya Amerika Serikat dan Tiongkok sedikit menurun setelah tercapainya kerangka dagang kedua negara. Meskipun kita melihat pada perkembangan hari ini keputusan Amerika Serikat berkaitan dengan tingkat tarif kepada sejumlah negara-negara lain termasuk Indonesia," ujarnya.