Fenomena Lock-In Season: Tren Kejar Target Akhir Tahun yang Berisiko Burnout

1 month ago 27

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini jamak profesional ambisius memilih start lebih awal untuk resolusi Tahun Baru mereka. Dari September hingga Desember, muncul tren di media sosial bernama lock-in season atau musim penguncian, merupakan tren di mana pekerja berkomitmen fokus pada tujuan kebugaran, keuangan, maupun karier di akhir tahun.

Bagi konsultan karier Khadyajah Jenkins, tren ini sebenarnya bukan hal baru. "Lock-in season hanya konsep kuartal IV di kalender korporasi yang dikemas ulang untuk media sosial," Ungkap mantan perekrut teknologi yang kini menempuh studi doktoral di Penn State, dikutip dari CNBC, Sabtu (20/9/2025).

Meskipun begitu, Jenkins menilai periode ini tetap menjadi momen tepat untuk fokus pada idealisme yang disengaja untuk masa depan, mulai dari mengamankan promosi hingga mengembangkan kemampuan pribadi.

Ia bahkan membagikan strategi memanfaatkan tren ini di akun TikTok miliknya yang memiliki lebih dari 60 ribu pengikut.

Menurut pelatih para eksekutif perusahaan, Allie Stark, lock-in season ditandai dengan meningkatnya“disiplin dan momentum. Menjelang akhir tahun, banyak orang terdorong untuk bekerja ekstra keras demi menuntaskan target tahunan mereka.

“Ada energi seperti, ‘Saya sudah punya target di awal tahun, sekarang tersisa empat bulan untuk mencapainya, jadi bagaimana saya bisa mewujudkannya?’” kata Stark.

Fokus pada Karier

Bagi para profesional muda, karier menjadi prioritas utama dalam tren ini. Pelatih karier sekaligus juru bicara Resume.AI, Amanda Augustine, mengatakan berdasarkan analisis konten lock-in season di media sosial, banyak pekerja yang fokus memperbarui profil LinkedIn, melihat lagi pencapaian, hingga mengasah keterampilan menjelang tahun baru.

Di tengah pasar tenaga kerja yang menantang, para pekerja ingin memaksimalkan keamanan pekerjaan mereka.

“Semua orang membaca berita soal PHK dan bertanya, ‘Bagaimana caranya saya menjadi sekreatif dan seberharga mungkin?’” kata Augustine.

“Jika ada peluang yang belum mereka coba sebelumnya, sekarang mereka berusaha ke arah itu dan memanfaatkannya.”

Meski tren ini terdengar positif, ada potensi jebakan yang perlu diwaspadai.

Menurut Stark, lock-in season berakar pada keinginan untuk merasa aman dan terkendali di tengah ketidakpastian kolektif.

Waspada Risiko Burnout

Godaan tenggelam dalam pekerjaan memang besar, namun dorongan berlebihan justru membuka risiko burnout. Karena itu, Stark menekankan pentingnya menetapkan target yang realistis dan terukur.

“Penting untuk sadar bahwa pencapaian itu tidak selalu linear,” katanya.

“Ketika ingin mencapai target, melakukan perubahan perilaku, atau membentuk kebiasaan baru, semua itu tidak bisa terjadi dalam semalam,” tambah dia. 

Jenkins menambahkan, keberlanjutan harus menjadi fokus utama dalam menjalani lock-in season. Menurutnya, banyak nasihat di media sosial justru cenderung hanya gimmick belaka.

“Orang-orang langsung tancap gas tanpa memikirkan, minggu pertama akan seperti apa? Minggu kedua bagaimana? Apakah ini bisa berkelanjutan jangka panjang?” ujarnya.

Ia menyarankan pendekatan berupa sprint dua minggu: fokus bekerja keras dalam periode tersebut, lalu menganalisis hasil untuk dijadikan dasar strategi dua minggu berikutnya.

“Melihatnya lewat kerangka strategis membuat orang untuk lebih berhati-hati,” kata Jenkins.

Sama pentingnya, setelah setiap sprint, seseorang perlu berhenti sejenak untuk refleksi: “Kamu harus memberi waktu untuk berpikir, apa yang sebenarnya kamu inginkan.”

Jangan Terlalu Memaksakan Diri

Meski lock-in season menekankan pencapaian target akhir tahun, Stark mengingatkan agar tidak memaksakan diri menyelesaikan semua daftar tugas sekaligus.

“Kita hidup di budaya yang lupa bahwa hal-hal baik membutuhkan waktu,” ujarnya.

“Rasanya menyenangkan saat motivasi meningkat, dan saya setuju memulai musim gugur dengan semangat. Tapi harus ada keseimbangan dengan melakukan cek ke dalam diri sendiri,” tambahnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |