Liputan6.com, Jakarta - Pengiriman barang dari China ke Amerika Serikat merosot 33% pada Agustus 2025, sementara pertumbuhan ekspor secara keseluruhan melambat ke level terlemah dalam enam bulan.
Penurunan ini dipicu oleh kebijakan Presiden Donald Trump yang menargetkan transshipment, sehingga membebani ekspor, sementara aktivitas frontloading bisnis kehilangan momentum. Demikian seperti dikutip dari CNBC, Selasa (9/9/2025).
Impor dari AS ke China juga turun 16% dibandingkan tahun lalu, menurut data dari bea cukai.
Secara keseluruhan, total ekspor China naik 4,4% pada Agustus dalam dolar AS dibandingkan tahun sebelumnya, menurut data bea cukai yang dirilis Senin. Angka ini menandai pertumbuhan terendah sejak Februari dan gagal memenuhi perkiraan ekonom yang disurvei Reuters, yang memperkirakan kenaikan sebesar 5,0%.
Pertumbuhan ekspor China melambat dibanding dua bulan sebelumnya, sebagian dipengaruhi oleh efek statistik dari basis yang tinggi tahun lalu, ketika ekspor mencatat laju tercepat dalam hampir satu setengah tahun.
Sementara itu, impor naik 1,3% pada bulan lalu dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi masih di bawah perkiraan ekonom yang disurvei Reuters sebesar 3%. Kenaikan ini menandai pertumbuhan impor bulan ketiga berturut-turut setelah rebound pada Juni, meskipun tetap tertahan akibat kemerosotan sektor properti, meningkatnya ketidakpastian pekerjaan, dan faktor-faktor lain.
China Andalkan Alternatif Pasar
Untuk mengimbangi tekanan dari kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang menekan pengiriman ke Amerika Serikat, China semakin mengandalkan alternatif pasar, termasuk Asia Tenggara, Uni Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.
Meski demikian, Amerika Serikat tetap menjadi mitra dagang terbesar Tiongkok secara per negara, menyerap barang senilai USD 283 miliar (sekitar Rp 4,6 kuadriliun dengan kurs estimasi Rp 16.300/USD) hingga Agustus. Sebagai perbandingan, ekspor China ke Uni Eropa mencapai USD 541 miliar (sekitar Rp 8,9 kuadriliun) selama periode yang sama.
Beijing dan Washington sepakat pada 11 Agustus untuk memperpanjang gencatan senjata tarif selama 90 hari, mempertahankan tarif AS sekitar 55% pada impor China dan 30% bea masuk China pada barang-barang AS, menurut Peterson Institute for International Economics.
Meski demikian, pembicaraan bilateral tampak sulit mencapai terobosan, dengan kunjungan negosiator perdagangan Tiongkok, Li Chenggang, ke Washington pada akhir Agustus hanya menghasilkan sedikit kemajuan.
AS Awasi Ketat
Eksportir China kini mengandalkan pengiriman melalui rute negara ketiga untuk menghindari tarif AS. Namun, strategi ini menghadapi pengawasan ketat AS terhadap praktik yang disebut transshipment, yang menurut analis dapat menekan ekspor China dalam beberapa bulan ke depan.
Selain itu, pada Juli, AS mengumumkan tarif 40% pada setiap pengiriman yang dikategorikan sebagai transshipment, menambah tekanan terhadap perdagangan Tiongkok.
Survei swasta berorientasi ekspor, indeks manajer pembelian RatingDog, menunjukkan aktivitas manufaktur Tiongkok jauh melampaui ekspektasi pada Agustus, didorong oleh pemulihan pesanan ekspor baru yang menandakan permintaan eksternal yang tetap tangguh.
Data Inflasi China
China dijadwalkan merilis dua indikator inflasi yang diawasi ketat akhir pekan ini, yaitu indeks harga konsumen (IHK) dan indeks harga produsen (PPI).
Menurut Goldman Sachs, inflasi PPI diperkirakan tetap sangat negatif, turun 2,9% secara tahunan, meski pembacaan bulanan diperkirakan positif karena kebijakan “anti-involusi” Beijing, yang bertujuan mengurangi pemotongan harga berlebihan, serta kenaikan harga bahan baku hulu baru-baru ini.
Sementara itu, bank Wall Street memperkirakan inflasi IHK utama cukup negatif, turun 0,2% bulan lalu dibandingkan tahun sebelumnya.