Liputan6.com, Jakarta Disrupsi digital kini menjadi keniscayaan di hampir seluruh sektor ekonomi. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menyaksikan dan mengalami percepatan besar-besaran pada sektor e-commerce, transportasi digital, InsureTech, investasi dan keuangan.
Menurut data laporan e-Conomy SEA 2024 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, ekonomi digital Asia Tenggara (termasuk Indonesia) pada 2024 diperkirakan mencapai USD 263 miliar atau setara Rp 4.344 triliun (kurs 16.583 per USD) gross merchandise value (GMV) naik 15 % YoY.
“Pertumbuhan itu sebagian besar didorong oleh sektor e-commerce dengan Gross Merchandise Value (GMV) senilai USD 65 miliar atau sekitar Rp 1.082 triliun,” tulis laporan tersebut dikutip Kamis (9/10/2025).
Angka ini menegaskan betapa cepatnya masyarakat beralih ke layanan digital dan menuntut sektor keuangan serta asuransi untuk ikut beradaptasi dalam menyediakan produk dan akses yang mudah dan sesuai perilaku baru konsumen.
Transformasi sebagai Respons terhadap Regulasi dan Kepercayaan PublikPerubahan besar ini tidak hanya soal teknologi, tetapi juga tentang kepercayaan dan tata kelola (akuntabilitas). Industri keuangan dan asuransi menghadapi tantangan di tengah kepercayaan yang rendah dituntut pula untuk menyeimbangkan antara inovasi dengan kepatuhan terhadap regulasi yang semakin ketat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui berbagai kebijakan terkini seperti POJK 11/2023 dan POJK 23/2023 menegaskan pentingnya governance, manajemen risiko, dan transparansi pelaporan.
Regulasi semacam ini menjadi “rem dan pedal gas” sekaligus mendorong percepatan transformasi sambil memastikan industri tumbuh dengan prinsip akuntabilitas.
Di sisi lain, kepercayaan publik kini menjadi aset yang paling berharga. Dalam era di mana setiap pengalaman pelanggan dapat tersebar luas di media sosial, reputasi keuangan perusahaan ditentukan bukan hanya oleh laporan tahunan, tetapi juga oleh pengalaman pengguna yang nyata dan konsisten.
Menakar Risiko
Transformasi digital di sektor keuangan kini banyak bergantung pada big data analytics.Perusahaan asuransi memanfaatkan data dari berbagai sumber, mulai dari gaya hidup pelanggan, histori kesehatan, hingga perilaku finansial untuk menilai risiko dengan lebih akurat dan menyusun strategi bisnis yang presisi.
Beberapa perusahaan telah mulai mengembangkan produk usage-based insurance yang premiumnya menyesuaikan dengan perilaku pengguna, misalnya jumlah langkah harian atau frekuensi berkendara. Pendekatan berbasis data ini tidak hanya efisien secara operasional, tetapi juga lebih adil bagi nasabah.
Selain itu, pendekatan ini membantu industri menekan angka fraud yang selama ini menjadi tantangan utama sektor asuransi. Berdasarkan data dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang menyebut bahwa fraud dalam klaim asuransi umum bisa mencapai sekitar 10% dari total klaim dalam satu tahun tertentu, meskipun data tersebut tidak memisahkan jenis asuransi atau tahun spesifik.
Sebagai catatan, dalam laporan Triwulan 4 tahun 2024, premi industri asuransi umum dicatat sebesar Rp 112,9 triliun, tumbuh 8,7 % YoY dibanding periode sama tahun sebelumnya. Angka ini memperlihatkan bahwa meskipun premi meningkat, tekanan terhadap kualitas klaim dan potensi fraud tetap menjadi tantangan.
AI Mempercepat Klaim dan Menjaga Akuntabilitas
Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) kini mulai mengubah wajah layanan keuangan di Indonesia.Dalam proses klaim asuransi, AI mampu mempercepat validasi dokumen, menganalisis pola anomali, serta mengidentifikasi indikasi penipuan secara otomatis.
Beberapa perusahaan melaporkan waktu penyelesaian klaim menurun drastis dari 7 hari menjadi kurang dari 24 jam, dengan tingkat akurasi deteksi fraud mencapai lebih dari 90%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar klaim penipuan bisa dikenali benar jika data dan model mendukung.
Angka ini mencerminkan potensi ideal dalam kondisi data yang lengkap dan model perhitungan yang matang.Selain mempercepat layanan, sistem berbasis AI ini juga meningkatkan transparansi, karena seluruh proses terekam digital dan mudah diaudit, sejalan dengan semangat akuntabilitas yang menjadi fokus regulator.
Produk yang Semakin Personal dan InklusifTransformasi digital membawa perubahan pada desain produk. Dengan data dan AI, perusahaan bisa menyajikan produk sesuai kebutuhan spesifik: Proteksi kesehatan jangka pendek, asuransi perjalanan berdasarkan jarak atau durasi, hingga asuransi digital untuk pengguna aktif layanan online.
Upaya ini juga mendukung inklusi keuangan. Berdasarkan data OJK per September 2024, penetrasi asuransi Indonesia tercatat 2,80 % terhadap PDB, dengan densitas rata-rata mencapai Rp 2.080.020 per kapita per tahun.
Angka penetrasi rendah tersebut jelas berada jauh di bawah negara ASEAN seperti Malaysia (4,8 %) dan Singapura (11,4 %). Sementara itu, data OJK per Februari 2025 menunjukkan penetrasi asuransi sedikit menurun ke 2,72 % dari level 2,84 % pada Desember 2024. Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya, penetrasi industri asuransi masih sangat fluktuatif dan masih rendah secara historis.
Transformasi digital tidak berdiri sendiri di industri keuangan. Sektor lain seperti transportasi digital dan e-commerce telah lebih dulu menunjukkan dampak nyata.
Transformasi sebagai Ukuran Kesehatan Korporasi
Dalam laporan e-Conomy SEA 2024, video commerce kini menyumbang 20 % dari total GMV e-commerce, naik signifikan dari kurang dari 5 % pada 2022. Transportasi dan layanan pengantaran gabungan tercatat tumbuh sekitar 13% YoY hingga mencapai GMV ~US$9 miliar pada 2024 di Indonesia.
Perbankan juga telah menunjukkan kemampuan adaptasi lewat pengembangan aplikasi finansial digital (super app) dan integrasi layanan multi-dimensi.
Transformasi bukanlah proses sementara, melainkan strategi jangka panjang yang dilakukan secara konsisten untuk menjaga ketahanan dan kepercayaan publik terhadap industri.
Perusahaan keuangan dan asuransi harus bersedia mentransformasi secara menyeluruh, menggabungkan data, AI, inovasi produk, dan governance yang kuat, demi pertumbuhan yang sehat dan terpercaya.
Dengan penetrasi asuransi yang masih berkisar antara 2,7% sampai 2,8% per 2024–2025, ruang tumbuh masih sangat luas.
Namun, pertumbuhan itu hanya dapat direalisasikan jika kepercayaan, tata kelola, dan integritas menjadi pondasi transformasi. Di era di mana konsumen bisa melihat kesalahan perusahaan melalui media sosial, satu hal menjadi pasti: Yang bertahan bukanlah yang paling besar atau paling berteknologi tinggi, melainkan yang paling akuntabel, adaptif, dan dipercaya.
Sebab, di era digital ini, satu hal menjadi pasti: Yang bertahan bukanlah yang paling besar, melainkan yang paling akuntabel, adaptif, dan dipercaya.