SUKSES dengan film komedi horor Sekawan Limo yang mendapat jumlah penonton lebih dari 2,5 juta lebih pada tahun ini, Skak Studios, rumah produksi yang didirikan Youtuber, penulis, dan sutradara Bayu Skak, bersiap dengan proyek-proyek baru yang akan segera diproduksi. Terbaru, Bayu Skak telah merampungkan film Cocote Tonggo yang saat ini sedang dalam tahap pasca-produksi dan menunggu waktu rilis di bioskop.
Di pasar film JAFF Market, Bayu Skak pun membawa katalog judul-judul yang akan segera diproduksi pada waktu mendatang. Salah satu yang menjadi napas film-film produksi Skak Studios, disebut Bayu, memiliki nilai kedaerahan. Setelah mengangkat bahasa Jawa Timuran di Sekawan Limo, Cocote Tonggo akan menggunakan bahasa Jawa Mataraman dari wilayah Solo–Yogyakarta.
Judul lain, yang juga disebut Bayu adalah film fiksi ilmiah (science fiction) Foufo. Film yang akan menceritakan tentang UFO yang mendarat di Madura, dan tidak bisa kembali akibat pesawat UFO-nya dipreteli. Di film ini, nantinya juga akan menggunakan bahasa Madura.
Bayu juga akan menggarap film Sukses Jaya yang berkisah tentang para kuli Jawa, serta ke depan bakal menggarap film yang menggunakan bahasa ngapak. Namun, tak menutup kemungkinan Skak Studios juga bakal menggarap film-film dengan bahasa daerah di luar pulau Jawa, seperti bahasa Minang, Batak, atau Bali.
“Kami berusaha untuk mendeklarasikan keren itu enggak harus yang ikut-ikutan Barat atau apa yang modern. Yang modern oke tapi kedaerahannya itu kita juga bisa junjung sehingga menjadi keren. Enggak selamanya yang dari kedaerahan itu tentang ‘katrok’, ‘ndeso’. Justru dari kedaerahan itu kita bisa keren. Seperti contohnya kita nonton Korea. Korea itu ya bahasanya bahasa daerah, kita enggak kenal bahasa itu. Apa yang mereka kenakan, hanbok, makanan mereka, itu lah makanan mereka. Nah makanya kita coba kenali, cintai, dan konsumsi. Makanya kita harus lakukan juga sebaik-baiknya. Agar yang kita punya itu enggak hilang,” ucap Bayu Skak saat diwawancara Media Indonesia di JAFF Market, di Jogja Expo Center (JEC), Selasa (3/12).
Salah satu yang juga menjadi keprihatinan Bayu, semakin punahnya bahasa daerah. Ketika para penutur aslinya tak lagi menggunakan, dan generasi yang lebih muda juga tak memahami, menurut Bayu, bisa turut menjadi faktor kepunahan bahasa daerah. Untuk itu, lewat medium film, Bayu ingin membawa misi agar bahasa daerah juga tetap dikenal dan dituturkan oleh generasi-generasi saat ini.
Meski membawa semangat kelokalan, Bayu juga sadar agar nilai yang ia bawa tidak sekadar dimengerti oleh para penuturnya, tetap membawa unsur universalitas ke dalam film-filmnya. Untuk itu, dialog difilm-filmnya juga masih tetap menggunakan atau menyelipkan bahasa Indonesia. Agar, penonton dari berbagai daerah juga tetap memahaminya. Selain itu, narasinya juga tetap memiliki relevansi dengan penonton luas.
"Kita boleh lokal tapi enggak boleh cuma kita sendiri yang tahu, yang nonton siapa? Makanya lokal tapi rasanya juga harus universal. Korea bisa berhasil, Jepang bisa berhasil. Mereka lokal tapi mereka menyentuh kita dari aspek-aspek yang universal gitu, yang kita juga bisa merasakan. Makanya masalah bahasanya itu aman saja, asalkan kita tetap bisa universal,” tutur Bayu.(M-2)